1
ARNO
Ibuku berlari menembus hutan,
dengan menggendongku yang baru berumur lima tahun. Hujan deras dan kegelapan
malam membuat medan menjadi lebih sulit dilewati. Sesekali kilat menyambar,
membuat benderang sekitar. Namun hanya sekilas, setelah itu kegelapan kembali
menyelimuti. Ibuku sesekali menoleh kebelakang, napasnya terengah tetapi ia
terus berlari. Sesekali kami menabrak ranting pohon dan bebatuan. Tak terhitung
luka gores yang didapat Ibuku. Kami lari dari sesuatu. Aku juga tidak tahu apa
atau siapa itu, tapi aku tahu mereka amat berbahaya. Dan mereka terus megejar
kami.
“Bu, aku takut” Aku memeluk Ibuku
lebih erat lagi.
“Jangan khawatir Ar, semuaya akan
baik-baik saja” Ibuku berusaha tersenyum. Mengelus rambutku yang acak-acakan.
Samar-samar Aku bisa mendengar derap
langkah kuda diantara derasnya hujan. Mereka yang mengejar kami sudah semakin
dekat. Ibuku berlari lebih kencang, mendekapku lebih erat. Ibuku melihat gua
kecil dan memutuskan untuk pergi kesana. Mulut guanya kecil dan tertutupi
pepohonan. Namun, ruangan di dalamnya cukup luas untuk kami berdua.
“Arno, dengarkan Ibu,” Ibuku
menurunkanku dari gendongannya dan berlutut di depanku, memandangku dengan
tatapan lembut sambil memegang bahuku. “Kau bersembunyilah di gua ini. Apapun
yang terjadi jangan keluar dari sini. Esok pagi ayahmu akan datang
menjemputmu.” Ibuku menghela napas sebentar, tersenyum, “Arno, berjanjilah kau
akan menjaga kedua adik-adikmu saat Ibu sudah tiada. Kau juga jadilah anak yang
kuat Arno, anak yang pemberani. Ibu sudah tidak bisa mendampingimu lagi. Turuti
setiap perkataan Ayah, hanya dia yang bisa menjagamu mulai sekarang.”
“Memangnya Ibu mau pergi kemana?”
Aku menahan Ibu yang hendak berdiri. “Jangan tinggalkan aku!” Suaraku bergetar,
aku mulai terisak. Ibuku memelukku erat, menenangkanku.
“Arno, berjanjilah pada Ibu,” Ibuku
melepas pelukan, kemudian kembali memandangku. Aku bisa melihat mata birunya
berpendar saat kilat datang, mata biru yang memberikan kehangatan kepadaku,
mengusir seluruh rasa takut dalam dadaku dan menggantinya dengan keberanian.
Demi melihatnya aku berhenti menangis, kemudian mengangguk mantap. “Ibu juga
berjanjilah akan baik-baik saja.”
Ibuku mengangguk lalu sekali lagi
memelukku dan mengecup keningku “Ibu menyayangimu Arno.” Dan Ia berdiri lalu
menuju mulut gua, segera mengambil busur yang sedari tadi di sandangnya dan
mengambil satu anak panah dari punggungnya. Kemudian Ia pergi. Sungguh,
seharusnya Aku tidak pernah membiarkannya pergi dari gua itu. Seharusnya Aku
tak membiarkannya pergi dariku. Dan jika begitu mungkin Ibu akan
selamat.Beberapa menit menunggu di dalam gua, Aku tidak tahan lagi. Aku
beranjak pergi ke mulut gua, mengintip apa yang terjadi di luar sana. Hujan
deras diluar sana masih belum mereda, Aku melihat Ibuku menembakkan
panah-panahnya ke arah orang-orang berkuda itu yang jaraknya hanya lima meter
dari tempatnya. Kuhitung mereka ada tiga orang, semuanya mengenakan jubah hitam
yang menutupi kepala mereka. Mereka semua menunggangi kuda yang semuanya
berbulu hitam serta membawa tombak-tombak sepanjang satu meter. Mata tombaknya
terbuat dari besi perak yang terlihat amat tajam. Orang-orang itu kini
berputar-putar disekeliling Ibuku, mereka terlihat berbicara dengan Ibuku. Dan
Ibuku, dengan tampang garang menjawab mereka dengan anak panah dalam posisi
siap menembak. Derasnya hujan dan kesiur angin meredam pembicaraan mereka.
Mereka terus berputar-putar mengelilingi Ibu sampai seseorang, kurasa
pemimpinnya, mengacungkan tombaknya tinggi-tinggi. Lengan jubah orang itu
tersibak, memperlihatkan lengan besar yang dibalut perban. Dan dalam waktu yang
amat cepat orang itu menghunuskan tombaknya ke tubuh Ibuku.
“IBU!!!” Aku tersentak dari tidurku,
berusaha mengendalikan napasku yang menderu. Pintu kamarku dibuka dengan
kencang, “Ada apa?” seorang gadis, lebih muda empat tahun dariku berdiri di
bingkai pintu. Tangan kanannya sedang memegang sendok sayur, napasnya sedikit
terengah, ia pasti langsung berlari segera setelah mendengar teriakanku.
Aku
menggeleng pelan, “Tidak apa-apa Irish, Aku hanya bermimpi, maaf sudah
membuatmu cemas,” Napasku perlahan mulai teratur. Aku menatap kosong sprei
putih ranjangku yang warnanya mulai kusam, sejenak pikiranku kembali kepada
mimpi semalam. Mimpi yang sama yang telah menghantuiku selama dua belas tahun
belakangan.
Irish melangkah
menuju jendela kamarku yang berada di sebelah ranjang, menyibakkan gordennya,
membuat cahaya matahari pagi menyerbu masuk. Lalu gadis itu duduk di sampingku,
menyentuh lembut lenganku dan berkata, “Kau mengalami mimpi itu lagi, kan?” Aku
mengangguk perlahan. Mimpi itu sebenarnya sama sekali bukan mimpi, tetapi
ingatan. Sejak malam badai dua belas tahun yang lalu itu, tiap malam aku
mendapat mimpi seperti itu, membuat masa kanak-kanakku dipenuhi mimpi buruk.
Tapi di tahun ketiga semenjak kematian Ibuku, mimpi-mimpi itu mulai menghilang,
hanya saja sejak sebulan terakhir mimpi-mimpi itu datang lagi. Aku tidak tahu
apa sebabnya, tapi Aku ingin mimpi itu segera menghilang lagi, Aku tidak mau melihat
Ibuku mati didepanku setiap malam.
Irish disebelahku menghela napas,
“Kau orang yang kuat ya kak, bisa bertahan menghadapi mimpi-mimpi itu setiap
malam, kalau Aku mendapat mimpi buruk semalam saja sudah bisa membuatku
menggigil ketakutan esok paginya.” Ia berhenti sejenak, mendadak raut wajahnya
berubah cemas. “Tapi aku takut kalau suatu saat nanti mimpi-mimpi itu sampai
mengganggu kewarasanmu, lalu kau dibawa ke rumah sakit jiwa di pusat kota sana,
nanti siapa yang membantuku mengurus rumah dan ayah, kau kan tahu Kak Raven
tidak bisa diandalkan,” Nada suaranya berubah menjadi menggerutu saat
mengatakan bagian terakhirnya.
Demi
melihat dirinya seperti itu Aku tertawa lebar. “Aku tidak akan jadi gila hanya
karena mimpi, Rish. Buktinya selama ini Aku masih baik-baik saja.” Aku mengacak
rambut cokelat panjang miliknya, membuatnya tersenyum manis.
Hening
sejenak... “Tapi kurasa kau malah beruntung kak, bisa melihat Ibu setiap
malam,” Irish bertanya padaku sambil matanya menatap kosong ke lantai kayu kamarku.
“Aku belum pernah melihat Ibu secara langsung.”
Tersenyum
getir. “ Ya, memang Aku jadi bisa melihatnya setiap malam... tapi hanya untuk
melihatnya terbunuh lagi,” ada sedikit nada sarkasme dalam ucapanku, membuatku
merasa sedikit bersalah karena yang bertanya tadi adalah Irish, adik kandungku
sendiri.
“Seperti apa
sosok Ibu?” Irish bertanya lagi, masih menatap lantai kayu kamar. Aku bisa
merasakan kesedihan dalam suaranya. Aku mengambil pigura foto Ibu yang
kuletakan di meja kecil di sebelah ranjang, menunjukannya kepada Irish.
“Maksudku bukan fisiknya, lebih seperti sifatnya, kebiasaannya sehari-hari!”
Irish menatapku sebal sambil mengerucutkan bibirnya kalau fotonya saja sih aku sudah tahu! Kira-kira begitu maksud
tatapannya itu. Aku tertawa kecil melihat tingkahnya, obrolan pagi dengan Irish
adalah salah satu hal favoritku sejak dulu. Sebenarnya Irish lah yang membuatku
mampu melupakan mimpi-mimpi buruk itu, menggantinya dengan harapan-harapan baru
untuk hari ini.
Aku memperbaiki
posisi dudukku, menjuntaikan kakiku ke lantai. “Baiklah, akan kuceritakan.”
Mata biru bulat milik Irish langsung membesar penuh suka cita, diiringi
senyuman lebar di wajahnya. Ia selalu suka melihatku bercerita, karena
menurutnya dirumah ini hanya aku yang paling jago bercerita. “Ibu itu
sebenarnya kurang lebih sama sepertimu Rish,” Aku memulai cerita sambil
memandangi foto Ibuku. “Ia orang yang baik, ramah, selalu tersenyum kepada
semua orang yang ditemuinya. Selalu menolong orang yang membutuhkan bantuan dan
bahkan rela mengorbankan dirinya sendiri untuk orang lain.” Aku berhenti
sejenak untuk mengambil napas, “Dan tahukah kau Rish, Ibu amat pemberani,
teramat malah, karena dulu Ia seorang pemburu. Orang-orang desa dulu sering
memanggilnya dengan sebutan Gadis Pemanah. Dulu Ibu sering sekali masuk ke
Hutan Dalam untuk memburu babi hutan yang sering merusak perladangan.” Irish
bergidik ngeri mendengar kata Hutan Dalam, membuatku tersenyum tipis. “Ibu
selalu menembak babi itu tepat di mata mereka, ciri khasnya. Orang bilang, jika
ada yang tahu betul tentang Hutan Dalam itu, itu adalah Ibu kita yang
pemberani.”
Irish menatapku
kagum, Ia belum pernah mendengar kisah itu dari siapapun. “Aku tak pernah
menyangka Ibu kita seorang pemburu yang amat luar biasa, kukira Ayahlah yang seorang
pemburu. Dan kau bilang Ibu sepertiku... Wow.” Gadis itu sekarang kagum dengan
dirinya sendiri.
Aku
memperhatikan sendok sayur di genggaman tangan Irish, “Perutku lapar, apa menu
sarapan kita Rish?” tanyaku.
“Aku sedang
membuat sup...” dan seperti teringat sesuatu gadis itu terlonjak panik, “Astaga
supku!” Dan gadis kecil itu langsung berlari menuju dapur. Aku hanya terkekeh
melihatnya “Setidaknya Ibu tidak seceroboh dirimu Irish!” timpalku...... READ MORE.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar