Sabtu, 04 Maret 2017

Unity-Prolog chapter 1

1        
ARNO
            Ibuku berlari menembus hutan, dengan menggendongku yang baru berumur lima tahun. Hujan deras dan kegelapan malam membuat medan menjadi lebih sulit dilewati. Sesekali kilat menyambar, membuat benderang sekitar. Namun hanya sekilas, setelah itu kegelapan kembali menyelimuti. Ibuku sesekali menoleh kebelakang, napasnya terengah tetapi ia terus berlari. Sesekali kami menabrak ranting pohon dan bebatuan. Tak terhitung luka gores yang didapat Ibuku. Kami lari dari sesuatu. Aku juga tidak tahu apa atau siapa itu, tapi aku tahu mereka amat berbahaya. Dan mereka terus megejar kami.
                “Bu, aku takut” Aku memeluk Ibuku lebih erat lagi.
            “Jangan khawatir Ar, semuaya akan baik-baik saja” Ibuku berusaha tersenyum. Mengelus rambutku yang acak-acakan.
            Samar-samar Aku bisa mendengar derap langkah kuda diantara derasnya hujan. Mereka yang mengejar kami sudah semakin dekat. Ibuku berlari lebih kencang, mendekapku lebih erat. Ibuku melihat gua kecil dan memutuskan untuk pergi kesana. Mulut guanya kecil dan tertutupi pepohonan. Namun, ruangan di dalamnya cukup luas untuk kami berdua.
            “Arno, dengarkan Ibu,” Ibuku menurunkanku dari gendongannya dan berlutut di depanku, memandangku dengan tatapan lembut sambil memegang bahuku. “Kau bersembunyilah di gua ini. Apapun yang terjadi jangan keluar dari sini. Esok pagi ayahmu akan datang menjemputmu.” Ibuku menghela napas sebentar, tersenyum, “Arno, berjanjilah kau akan menjaga kedua adik-adikmu saat Ibu sudah tiada. Kau juga jadilah anak yang kuat Arno, anak yang pemberani. Ibu sudah tidak bisa mendampingimu lagi. Turuti setiap perkataan Ayah, hanya dia yang bisa menjagamu mulai sekarang.”
            “Memangnya Ibu mau pergi kemana?” Aku menahan Ibu yang hendak berdiri. “Jangan tinggalkan aku!” Suaraku bergetar, aku mulai terisak. Ibuku memelukku erat, menenangkanku.
            “Arno, berjanjilah pada Ibu,” Ibuku melepas pelukan, kemudian kembali memandangku. Aku bisa melihat mata birunya berpendar saat kilat datang, mata biru yang memberikan kehangatan kepadaku, mengusir seluruh rasa takut dalam dadaku dan menggantinya dengan keberanian. Demi melihatnya aku berhenti menangis, kemudian mengangguk mantap. “Ibu juga berjanjilah akan baik-baik saja.”
            Ibuku mengangguk lalu sekali lagi memelukku dan mengecup keningku “Ibu menyayangimu Arno.” Dan Ia berdiri lalu menuju mulut gua, segera mengambil busur yang sedari tadi di sandangnya dan mengambil satu anak panah dari punggungnya. Kemudian Ia pergi. Sungguh, seharusnya Aku tidak pernah membiarkannya pergi dari gua itu. Seharusnya Aku tak membiarkannya pergi dariku. Dan jika begitu mungkin Ibu akan selamat.Beberapa menit menunggu di dalam gua, Aku tidak tahan lagi. Aku beranjak pergi ke mulut gua, mengintip apa yang terjadi di luar sana. Hujan deras diluar sana masih belum mereda, Aku melihat Ibuku menembakkan panah-panahnya ke arah orang-orang berkuda itu yang jaraknya hanya lima meter dari tempatnya. Kuhitung mereka ada tiga orang, semuanya mengenakan jubah hitam yang menutupi kepala mereka. Mereka semua menunggangi kuda yang semuanya berbulu hitam serta membawa tombak-tombak sepanjang satu meter. Mata tombaknya terbuat dari besi perak yang terlihat amat tajam. Orang-orang itu kini berputar-putar disekeliling Ibuku, mereka terlihat berbicara dengan Ibuku. Dan Ibuku, dengan tampang garang menjawab mereka dengan anak panah dalam posisi siap menembak. Derasnya hujan dan kesiur angin meredam pembicaraan mereka. Mereka terus berputar-putar mengelilingi Ibu sampai seseorang, kurasa pemimpinnya, mengacungkan tombaknya tinggi-tinggi. Lengan jubah orang itu tersibak, memperlihatkan lengan besar yang dibalut perban. Dan dalam waktu yang amat cepat orang itu menghunuskan tombaknya ke tubuh Ibuku.
            “IBU!!!” Aku tersentak dari tidurku, berusaha mengendalikan napasku yang menderu. Pintu kamarku dibuka dengan kencang, “Ada apa?” seorang gadis, lebih muda empat tahun dariku berdiri di bingkai pintu. Tangan kanannya sedang memegang sendok sayur, napasnya sedikit terengah, ia pasti langsung berlari segera setelah mendengar teriakanku.           
             Aku menggeleng pelan, “Tidak apa-apa Irish, Aku hanya bermimpi, maaf sudah membuatmu cemas,” Napasku perlahan mulai teratur. Aku menatap kosong sprei putih ranjangku yang warnanya mulai kusam, sejenak pikiranku kembali kepada mimpi semalam. Mimpi yang sama yang telah menghantuiku selama dua belas tahun belakangan.                                                 Irish melangkah menuju jendela kamarku yang berada di sebelah ranjang, menyibakkan gordennya, membuat cahaya matahari pagi menyerbu masuk. Lalu gadis itu duduk di sampingku, menyentuh lembut lenganku dan berkata, “Kau mengalami mimpi itu lagi, kan?” Aku mengangguk perlahan. Mimpi itu sebenarnya sama sekali bukan mimpi, tetapi ingatan. Sejak malam badai dua belas tahun yang lalu itu, tiap malam aku mendapat mimpi seperti itu, membuat masa kanak-kanakku dipenuhi mimpi buruk. Tapi di tahun ketiga semenjak kematian Ibuku, mimpi-mimpi itu mulai menghilang, hanya saja sejak sebulan terakhir mimpi-mimpi itu datang lagi. Aku tidak tahu apa sebabnya, tapi Aku ingin mimpi itu segera menghilang lagi, Aku tidak mau melihat Ibuku mati didepanku setiap malam.
            Irish disebelahku menghela napas, “Kau orang yang kuat ya kak, bisa bertahan menghadapi mimpi-mimpi itu setiap malam, kalau Aku mendapat mimpi buruk semalam saja sudah bisa membuatku menggigil ketakutan esok paginya.” Ia berhenti sejenak, mendadak raut wajahnya berubah cemas. “Tapi aku takut kalau suatu saat nanti mimpi-mimpi itu sampai mengganggu kewarasanmu, lalu kau dibawa ke rumah sakit jiwa di pusat kota sana, nanti siapa yang membantuku mengurus rumah dan ayah, kau kan tahu Kak Raven tidak bisa diandalkan,” Nada suaranya berubah menjadi menggerutu saat mengatakan bagian terakhirnya.
            Demi melihat dirinya seperti itu Aku tertawa lebar. “Aku tidak akan jadi gila hanya karena mimpi, Rish. Buktinya selama ini Aku masih baik-baik saja.” Aku mengacak rambut cokelat panjang miliknya, membuatnya tersenyum manis.
  Hening sejenak... “Tapi kurasa kau malah beruntung kak, bisa melihat Ibu setiap malam,” Irish bertanya padaku sambil matanya menatap kosong ke lantai kayu kamarku. “Aku belum pernah melihat Ibu secara langsung.”
  Tersenyum getir. “ Ya, memang Aku jadi bisa melihatnya setiap malam... tapi hanya untuk melihatnya terbunuh lagi,” ada sedikit nada sarkasme dalam ucapanku, membuatku merasa sedikit bersalah karena yang bertanya tadi adalah Irish, adik kandungku sendiri.
 “Seperti apa sosok Ibu?” Irish bertanya lagi, masih menatap lantai kayu kamar. Aku bisa merasakan kesedihan dalam suaranya. Aku mengambil pigura foto Ibu yang kuletakan di meja kecil di sebelah ranjang, menunjukannya kepada Irish. “Maksudku bukan fisiknya, lebih seperti sifatnya, kebiasaannya sehari-hari!” Irish menatapku sebal sambil mengerucutkan bibirnya kalau fotonya saja sih aku sudah tahu! Kira-kira begitu maksud tatapannya itu. Aku tertawa kecil melihat tingkahnya, obrolan pagi dengan Irish adalah salah satu hal favoritku sejak dulu. Sebenarnya Irish lah yang membuatku mampu melupakan mimpi-mimpi buruk itu, menggantinya dengan harapan-harapan baru untuk hari ini.
 Aku memperbaiki posisi dudukku, menjuntaikan kakiku ke lantai. “Baiklah, akan kuceritakan.” Mata biru bulat milik Irish langsung membesar penuh suka cita, diiringi senyuman lebar di wajahnya. Ia selalu suka melihatku bercerita, karena menurutnya dirumah ini hanya aku yang paling jago bercerita. “Ibu itu sebenarnya kurang lebih sama sepertimu Rish,” Aku memulai cerita sambil memandangi foto Ibuku. “Ia orang yang baik, ramah, selalu tersenyum kepada semua orang yang ditemuinya. Selalu menolong orang yang membutuhkan bantuan dan bahkan rela mengorbankan dirinya sendiri untuk orang lain.” Aku berhenti sejenak untuk mengambil napas, “Dan tahukah kau Rish, Ibu amat pemberani, teramat malah, karena dulu Ia seorang pemburu. Orang-orang desa dulu sering memanggilnya dengan sebutan Gadis Pemanah. Dulu Ibu sering sekali masuk ke Hutan Dalam untuk memburu babi hutan yang sering merusak perladangan.” Irish bergidik ngeri mendengar kata Hutan Dalam, membuatku tersenyum tipis. “Ibu selalu menembak babi itu tepat di mata mereka, ciri khasnya. Orang bilang, jika ada yang tahu betul tentang Hutan Dalam itu, itu adalah Ibu kita yang pemberani.”
 Irish menatapku kagum, Ia belum pernah mendengar kisah itu dari siapapun. “Aku tak pernah menyangka Ibu kita seorang pemburu yang amat luar biasa, kukira Ayahlah yang seorang pemburu. Dan kau bilang Ibu sepertiku... Wow.” Gadis itu sekarang kagum dengan dirinya sendiri.
 Aku memperhatikan sendok sayur di genggaman tangan Irish, “Perutku lapar, apa menu sarapan kita Rish?” tanyaku.
 “Aku sedang membuat sup...” dan seperti teringat sesuatu gadis itu terlonjak panik, “Astaga supku!” Dan gadis kecil itu langsung berlari menuju dapur. Aku hanya terkekeh melihatnya “Setidaknya Ibu tidak seceroboh dirimu Irish!” timpalku......READ MORE.

***


Mau lihat kelanjutannya, Cek wattpad kami di :

https://www.wattpad.com/story/101412730-unity

Tidak ada komentar:

Posting Komentar