Minggu, 26 Maret 2017

Unity chapter 3


RAVEN
Sekitar tujuh puluh tahun yang lalu, Perang Dunia III berkecamuk. Karena alasan yang telah dilupakan, perang ini terjadi, hanya beberapa orang di dunia ini yang mengetahui persis alasan pecahnya perang ini. Perang Dunia III menjadi perang paling mengerikan sepanjang sejarah umat manusia. Seluruh negara di dunia saat itu terlibat dalam peperangan ini. Nuklir menjadi senjata favorit saat itu. Membuat beberapa daratan di permukaan bumi rusak dan tidak dapat dihuni lagi.
Sejumlah negara bahkan memanfaatkan kekuatan alam. Saat itu telah tercipta teknologi penggerak lempeng bumi. Dengan ini mereka membuat gempa-gempa artifisial berkekuatan hebat. Lalu menyusul tsunami dan gunung meletus. Karena bencana ini—terutama karena gempa buminya—banyak pulau-pulau besar yang mengalami retakan dan akhirnya terpecah menjadi pulau-pulau kecil. Peta dunia sudah tidak akan pernah sama lagi.
Banyak satelit-satelit di angkasa sana dihancurkan, memutus teknologi komunikasi dan sebagainya. Belum lagi, bom-bom elektromagnetik yang diledakan di sejumlah tempat. Listrik menjadi barang langka saat itu—bahkan hingga sekarang. Persediaan minyak bumi yang semakin menipis membuat banyak alat transportasi teronggok bisu. Kelaparan menjadi hal yang lazim ditemui. Juga pencurian dan pembunuhan, tidak ada aparat hukum yang peduli lagi.
Umat manusia hampir musnah saat itu. Beruntung, sebelum semuanya terlambat, perang berakhir. Dengan menyisakan dataran yang hancur, nyawa yang hilang, dan kesedihan mendalam yang tidak dapat terobati lagi. Manusia mulai membangun peradabannya lagi, dari nol. Berusaha untuk mengembalikan bumi seperti sediakala, mereka akan berjuang. Tapi ada satu yang tidak akan mereka kembalikan. Sesuatu yang amat penting untuk dunia ini.
Persatuan.
Para pemimpin negara, untuk menandai berakhirnya perang, berkumpul dan membuat perjanjian besar. Bahwa negara satu dengan negara lainnya tidak diperbolehkan melakukan kerja sama dalam bentuk apapun, tidak diperbolehkan melanggar batas wilayah, tidak diperbolehkan untuk mengganggu masing-masing negara, termasuk memberikan bantuan dalam bentuk apapun untuk mencegah perang lainnya terjadi.

***

Aku berlari secepat yang kubisa. Kusibak lebatnya dedaunan yang ada di hadapanku dengan pisauku ini. Saking cepatnya aku berlari, kakiku tersandung bebatuan lalu tubuhku terjatuh menuruni tanah yang sedikit landai. Tubuhku baru berhenti terguling setelah sampai di sebuah sungai kecil berlumpur. Aku sudah tidak peduli lagi pada pakaianku yang super kotor. Sekarang aku harus menemukan Arno. Kuteriakkan namanya satu kali. Tidak ada jawaban. Aku menatap aliran air sungai dibawahku yang warnanya memerah. Pikiran buruk segera masuk ke kepalaku. Tidak mungkin!. Aku mengusir pikiran buruk itu, segera menyusuri sungai kecil. Berharap pikiran burukku tidak terjadi.
Namun, apa yang kutakutkan terjadi. Tubuh Arno tergeletak bersimbah darah beberapa meter dariku. Mulutku ternganga, lututku gemetar. “ARNO!” Aku berlari menghampirinya. Baru setengah jalan, tiba-tiba tubuh lain terguling lagi, tergeletak persis di hadapanku. “Amy...” Aku memandangi mayatnya yang terbujur kaku dengan darah di mana-mana. Kepalaku menoleh ke atas pepohonan, seseorang sedang membidikan panahnya ke arahku. Lalu panah itu melesat, menembus tubuhku.
“AKH,” Aku terbangun dengan perasaan ketakutan, badanku sedingin dan sepucat orang mati. Napasku menderu. Seseorang membuka pintu kamarku, “Apa semua orang harus bangun dengan teriakan di pagi hari!?” Irish mengomel. Aku hanya membisikan kata maaf tanpa meliriknya, masih memikirkan tentang mimpi itu. Aku sadar itu hanyalah mimpi, tetapi terasa sangat nyata dan kuyakin itu sebuah pertanda bahwa hal buruk akan terjadi cepat atau lambat. Sepanjang hidupku, itu adalah mimpi paling mengerikan yang pernah kualami.
Menggelengkan kepalaku, aku menghilangkan pikiran buruk dari otakku. Setelah sedikit tenang, aku turun dari kamarku dan berusaha untuk menjalankan aktivitasku dengan normal. Berusaha untuk melupakan mimpi itu.
Kulihat Arno di kamarnya masih terlelap. Semalam Ayah menceramahinya panjang lebar. Melarang keras pergi ke Hutan Dalam. Aku jadi merasa bersalah karena telah me-ngadukannya.
Karenanya hari ini aku memutuskan untuk kembali pergi ke kebun lagi. Liburan sudah berakhir. Arno sama sekali tak berbicara padaku—walaupun biasanya juga kami jarang mengobrol. Kurasa ia masih sedikit kesal karena perbuatanku kemarin. Jadi kuputuskan untuk membuka pembicaraan terlebih dahulu.
“Maafkan aku... soal kemarin.” Hening. Arno tidak menjawabku, bahkan melirik pun tidak. “Maafkan aku,” aku mengulangi perkataanku, “Kau tahu aku sangat ingin pergi ke Hutan Dalam itu. Dan fakta bahwa aku tidak dapat pergi kesana membuatku sangat kesal, kau tahu. Aku tahu caraku salah. Setelah memikirkannya kemarin malam, aku tahu bahwa kalau aku tidak bisa pergi kesana, setidaknya kaulah yang harus pergi. Memburu babi sialan itu. Dan... menyelidiki kematian ibu kita. Dan seharusnya aku membantumu bukannya bertingkah seperti anak kecil. Maafkan aku Arno.”
Kali ini Arno menoleh padaku dan tersenyum. Tangannya terangkat untuk mengacak rambutku—biasanya aku menepisnya tapi kali ini kubiarkan ia melakukannya. “Permintaan maaf diterima. Aku juga minta maaf atas sikapku. Tapi kau jangan khawatir Rav, karena apapun ucapan Ayah, aku tetap akan pergi. Keputusanku sudah bulat.”
“Apa tidak apa-apa, maksudku, Ayah akan marah besar.”
Arno hanya mengangkat bahu, “Jika itu yang terjadi maka terjadilah.”
“Arno...” aku ingin menceritakan mimpiku tapi urung, membuat Arno menatapku bingung.
“Kenapa?”
“Tidak jadi,” aku menggeleng. Di tengah jalan, kami berdua bertemu Hugo. Ia kawanku yang sedikit... idiot kurasa. Lihat saja tingkahnya, mengejar kupu-kupu di tengah hutan seperti anak kecil berumur lima tahun—bahkan anak kecil berumur lima tahun tak akan melakukan hal itu—padahal umurnya setahun lebih tua dibandingkanku.
“HAI HUGO.....” sapa kami berdua sambil melambaikan tangan dan tersenyum. Dia hanya tertawa dan bertepuk tangan dengan gayanya yang khas. Kami melanjutkan perjalanan namun kulihat Hugo mengikuti di belakang kami. Kami membiarkannya, lagipula itu tak menggangguku—justru malah menjadi hiburan melihat tingkahnya yang konyol. Sesekali kami tertawa karena tingkahnya. Ide jail muncul diotakku. Aku sedikit berjinjit dan membisikannya pada Arno. Lalu ia tersenyum tak kalah jailnya denganku. Sedetik kemudian kami berdua berlari meninggalkan Hugo yang mendadak panik. Eksperinya, aku tak bisa berhenti tertawa melihat wajahnya yang cemas seperti itu. Lalu ia berteriak-teriak tak jelas sambil mengejar kami dengan gaya larinya yang konyol.
Kami berdua terus berlari meninggalkan Hugo. Sesekali berhenti untuk menunggunya. Hugo adalah anak kedua Kepala Desa. Sejak kecil tingkahnya memang seperti itu. Ia juga jarang berbicara, membuatnya menjadi bahan olok-olok teman-teman yang lain. Tapi aku tidak peduli apakah dia idiot atau bukan, dia tetap temanku—teman baikku malah. Ia sering menemaniku pergi ke tempat-tempat rahasia milikku sendiri karena aku tahu ia takkan memberitahu orang lain. Aku juga sering mengajaknya melakukan eksperimen-eksperimen kecil. Seperti latihan membuat senjata atau ramuan. Dengan demikian mungkin aku adalah orang yang sangat mengenal Hugo—bahkan mngkin melebihi orangtuanya sendiri. Aku tahu apa yang membuatnya senang, mengerti perkataannya, mengerti perasaannya, dan hal-hal lain tentangnya. Juga, aku tahu bahwa sebenarnya Hugo tidak bodoh, jenius malah. Tapi dalam cara yang berbeda.
Sesampainya kami di kebun, Kami beristirahat di dangau di pinggir kebun sambil duduk-duduk dan memimum air yang sudah kami siapkan. Botol yang terbuat dari kulit rusa dapat membawa air yang cukup untuk satu orang. Selang lima menit, Hugo pun sampai dengan napas terengah-engah. Aku tersenyum geli meilhatnya, dan kami menyapanya lagi, “Selamat datang Hugo.....” ucap kami sambil menahan tawa karena melihat ekspresinya yang kelelahan. Iapun hanya dapat tersenyum dan mengangkat tangan.
Arno memberikan minumnya kepada Hugo, dia menerima dengan malu-malu. “Te..terimakasih” Bisik Hugo, yang sambil memberikan kembali botol minumnya kepada Arno.
Arno sontak kaget dengan apa yang terjadi. Seperti yang kubilang tadi, anak ini jarang sekali mengeluarkan suara dari mulutnya. Bahkan aku yang sudah sering bersamanya saja hanya satu-dua kali pernah mendengarnya—itupun tidak jelas. “Kau... berbicara?” tanya Arno dengan mulut menganga. Kutebak ini pertama kalinya ia mendengar Hugo berbicara. “Kukira kau bisu...”
Arno merayunya agar mau berbicara seperti tadi, tetapi kali ini Hugo hanya diam dan menggeleng kuat-kuat. Akhirnya Arno menyerah dan membiarkan anak itu bermain dengan apa yang dia sukai. Arno lalu pergi ke dalam hutan untuk berburu sementara aku bertugas dengan air dan pupuk.
Waktupun terus berlalu, aku sudah selesai dengan pekerjaanku sejak tadi. Arno masih belum kembali dari hutan. Dan Hugo sudah tertidur seperti bayi di dalam dangau, dalam cuaca panas sepeti ini memang sangat nikmat tidur didalam ruangan yang teduh. Melihat Hugo yang tertidur, mataku terasa sangat berat dan mulai ikut terpejam. Hingga aku melihat semak-semak disekitar kebun bergoyang. Aku mengambil pisauku, bersiap melemparnya jika itu babi hutan. Tapi ternyata itu seekor kelinci liar berwarna putih. Kelinci itu melompat-lompat kearahku. Aku tersenyum. Segera turun dari dangau dan mengelus kelinci putih itu.
Bulu kelinci putih itu lembut sekali. Irish mungkin akan senang jika aku membawanya pulang dan memeliharanya. Tapi kelinci itu tiba-tiba saja melompat kabur setelah telinganya bergoyang-goyang sedikit. Aku bertanya-tanya kenapa kelinci itu kabur hingga aku tahu jawabannya. Sebuah teriakan dari dalam hutan, suara yang kukenali. “TOLONG!”  teriakan itu sangat kencang, bahkan Hugo sampai terbangun dari tidur lelapnya. Dadaku berdegup kencang. Pikiran buruk memenuhi kepalaku.RAVEN
Sekitar tujuh puluh tahun yang lalu, Perang Dunia III berkecamuk. Karena alasan yang telah dilupakan, perang ini terjadi, hanya beberapa orang di dunia ini yang mengetahui persis alasan pecahnya perang ini. Perang Dunia III menjadi perang paling mengerikan sepanjang sejarah umat manusia. Seluruh negara di dunia saat itu terlibat dalam peperangan ini. Nuklir menjadi senjata favorit saat itu. Membuat beberapa daratan di permukaan bumi rusak dan tidak dapat dihuni lagi.
Sejumlah negara bahkan memanfaatkan kekuatan alam. Saat itu telah tercipta teknologi penggerak lempeng bumi. Dengan ini mereka membuat gempa-gempa artifisial berkekuatan hebat. Lalu menyusul tsunami dan gunung meletus. Karena bencana ini—terutama karena gempa buminya—banyak pulau-pulau besar yang mengalami retakan dan akhirnya terpecah menjadi pulau-pulau kecil. Peta dunia sudah tidak akan pernah sama lagi.
Banyak satelit-satelit di angkasa sana dihancurkan, memutus teknologi komunikasi dan sebagainya. Belum lagi, bom-bom elektromagnetik yang diledakan di sejumlah tempat. Listrik menjadi barang langka saat itu—bahkan hingga sekarang. Persediaan minyak bumi yang semakin menipis membuat banyak alat transportasi teronggok bisu. Kelaparan menjadi hal yang lazim ditemui. Juga pencurian dan pembunuhan, tidak ada aparat hukum yang peduli lagi.
Umat manusia hampir musnah saat itu. Beruntung, sebelum semuanya terlambat, perang berakhir. Dengan menyisakan dataran yang hancur, nyawa yang hilang, dan kesedihan mendalam yang tidak dapat terobati lagi. Manusia mulai membangun peradabannya lagi, dari nol. Berusaha untuk mengembalikan bumi seperti sediakala, mereka akan berjuang. Tapi ada satu yang tidak akan mereka kembalikan. Sesuatu yang amat penting untuk dunia ini.
Persatuan.
Para pemimpin negara, untuk menandai berakhirnya perang, berkumpul dan membuat perjanjian besar. Bahwa negara satu dengan negara lainnya tidak diperbolehkan melakukan kerja sama dalam bentuk apapun, tidak diperbolehkan melanggar batas wilayah, tidak diperbolehkan untuk mengganggu masing-masing negara, termasuk memberikan bantuan dalam bentuk apapun untuk mencegah perang lainnya terjadi.

***

Aku berlari secepat yang kubisa. Kusibak lebatnya dedaunan yang ada di hadapanku dengan pisauku ini. Saking cepatnya aku berlari, kakiku tersandung bebatuan lalu tubuhku terjatuh menuruni tanah yang sedikit landai. Tubuhku baru berhenti terguling setelah sampai di sebuah sungai kecil berlumpur. Aku sudah tidak peduli lagi pada pakaianku yang super kotor. Sekarang aku harus menemukan Arno. Kuteriakkan namanya satu kali. Tidak ada jawaban. Aku menatap aliran air sungai dibawahku yang warnanya memerah. Pikiran buruk segera masuk ke kepalaku. Tidak mungkin!. Aku mengusir pikiran buruk itu, segera menyusuri sungai kecil. Berharap pikiran burukku tidak terjadi.
Namun, apa yang kutakutkan terjadi. Tubuh Arno tergeletak bersimbah darah beberapa meter dariku. Mulutku ternganga, lututku gemetar. “ARNO!” Aku berlari menghampirinya. Baru setengah jalan, tiba-tiba tubuh lain terguling lagi, tergeletak persis di hadapanku. “Amy...” Aku memandangi mayatnya yang terbujur kaku dengan darah di mana-mana. Kepalaku menoleh ke atas pepohonan, seseorang sedang membidikan panahnya ke arahku. Lalu panah itu melesat, menembus tubuhku.
“AKH,” Aku terbangun dengan perasaan ketakutan, badanku sedingin dan sepucat orang mati. Napasku menderu. Seseorang membuka pintu kamarku, “Apa semua orang harus bangun dengan teriakan di pagi hari!?” Irish mengomel. Aku hanya membisikan kata maaf tanpa meliriknya, masih memikirkan tentang mimpi itu. Aku sadar itu hanyalah mimpi, tetapi terasa sangat nyata dan kuyakin itu sebuah pertanda bahwa hal buruk akan terjadi cepat atau lambat. Sepanjang hidupku, itu adalah mimpi paling mengerikan yang pernah kualami.
Menggelengkan kepalaku, aku menghilangkan pikiran buruk dari otakku. Setelah sedikit tenang, aku turun dari kamarku dan berusaha untuk menjalankan aktivitasku dengan normal. Berusaha untuk melupakan mimpi itu.
Kulihat Arno di kamarnya masih terlelap. Semalam Ayah menceramahinya panjang lebar. Melarang keras pergi ke Hutan Dalam. Aku jadi merasa bersalah karena telah me-ngadukannya.
Karenanya hari ini aku memutuskan untuk kembali pergi ke kebun lagi. Liburan sudah berakhir. Arno sama sekali tak berbicara padaku—walaupun biasanya juga kami jarang mengobrol. Kurasa ia masih sedikit kesal karena perbuatanku kemarin. Jadi kuputuskan untuk membuka pembicaraan terlebih dahulu.
“Maafkan aku... soal kemarin.” Hening. Arno tidak menjawabku, bahkan melirik pun tidak. “Maafkan aku,” aku mengulangi perkataanku, “Kau tahu aku sangat ingin pergi ke Hutan Dalam itu. Dan fakta bahwa aku tidak dapat pergi kesana membuatku sangat kesal, kau tahu. Aku tahu caraku salah. Setelah memikirkannya kemarin malam, aku tahu bahwa kalau aku tidak bisa pergi kesana, setidaknya kaulah yang harus pergi. Memburu babi sialan itu. Dan... menyelidiki kematian ibu kita. Dan seharusnya aku membantumu bukannya bertingkah seperti anak kecil. Maafkan aku Arno.”
Kali ini Arno menoleh padaku dan tersenyum. Tangannya terangkat untuk mengacak rambutku—biasanya aku menepisnya tapi kali ini kubiarkan ia melakukannya. “Permintaan maaf diterima. Aku juga minta maaf atas sikapku. Tapi kau jangan khawatir Rav, karena apapun ucapan Ayah, aku tetap akan pergi. Keputusanku sudah bulat.”
“Apa tidak apa-apa, maksudku, Ayah akan marah besar.”
Arno hanya mengangkat bahu, “Jika itu yang terjadi maka terjadilah.”
“Arno...” aku ingin menceritakan mimpiku tapi urung, membuat Arno menatapku bingung.
“Kenapa?”
“Tidak jadi,” aku menggeleng. Di tengah jalan, kami berdua bertemu Hugo. Ia kawanku yang sedikit... idiot kurasa. Lihat saja tingkahnya, mengejar kupu-kupu di tengah hutan seperti anak kecil berumur lima tahun—bahkan anak kecil berumur lima tahun tak akan melakukan hal itu—padahal umurnya setahun lebih tua dibandingkanku.
“HAI HUGO.....” sapa kami berdua sambil melambaikan tangan dan tersenyum. Dia hanya tertawa dan bertepuk tangan dengan gayanya yang khas. Kami melanjutkan perjalanan namun kulihat Hugo mengikuti di belakang kami. Kami membiarkannya, lagipula itu tak menggangguku—justru malah menjadi hiburan melihat tingkahnya yang konyol. Sesekali kami tertawa karena tingkahnya. Ide jail muncul diotakku. Aku sedikit berjinjit dan membisikannya pada Arno. Lalu ia tersenyum tak kalah jailnya denganku. Sedetik kemudian kami berdua berlari meninggalkan Hugo yang mendadak panik. Eksperinya, aku tak bisa berhenti tertawa melihat wajahnya yang cemas seperti itu. Lalu ia berteriak-teriak tak jelas sambil mengejar kami dengan gaya larinya yang konyol.
Kami berdua terus berlari meninggalkan Hugo. Sesekali berhenti untuk menunggunya. Hugo adalah anak kedua Kepala Desa. Sejak kecil tingkahnya memang seperti itu. Ia juga jarang berbicara, membuatnya menjadi bahan olok-olok teman-teman yang lain. Tapi aku tidak peduli apakah dia idiot atau bukan, dia tetap temanku—teman baikku malah. Ia sering menemaniku pergi ke tempat-tempat rahasia milikku sendiri karena aku tahu ia takkan memberitahu orang lain. Aku juga sering mengajaknya melakukan eksperimen-eksperimen kecil. Seperti latihan membuat senjata atau ramuan. Dengan demikian mungkin aku adalah orang yang sangat mengenal Hugo—bahkan mngkin melebihi orangtuanya sendiri. Aku tahu apa yang membuatnya senang, mengerti perkataannya, mengerti perasaannya, dan hal-hal lain tentangnya. Juga, aku tahu bahwa sebenarnya Hugo tidak bodoh, jenius malah. Tapi dalam cara yang berbeda.
Sesampainya kami di kebun, Kami beristirahat di dangau di pinggir kebun sambil duduk-duduk dan memimum air yang sudah kami siapkan. Botol yang terbuat dari kulit rusa dapat membawa air yang cukup untuk satu orang. Selang lima menit, Hugo pun sampai dengan napas terengah-engah. Aku tersenyum geli meilhatnya, dan kami menyapanya lagi, “Selamat datang Hugo.....” ucap kami sambil menahan tawa karena melihat ekspresinya yang kelelahan. Iapun hanya dapat tersenyum dan mengangkat tangan.
Arno memberikan minumnya kepada Hugo, dia menerima dengan malu-malu. “Te..terimakasih” Bisik Hugo, yang sambil memberikan kembali botol minumnya kepada Arno.
Arno sontak kaget dengan apa yang terjadi. Seperti yang kubilang tadi, anak ini jarang sekali mengeluarkan suara dari mulutnya. Bahkan aku yang sudah sering bersamanya saja hanya satu-dua kali pernah mendengarnya—itupun tidak jelas. “Kau... berbicara?” tanya Arno dengan mulut menganga. Kutebak ini pertama kalinya ia mendengar Hugo berbicara. “Kukira kau bisu...”
Arno merayunya agar mau berbicara seperti tadi, tetapi kali ini Hugo hanya diam dan menggeleng kuat-kuat. Akhirnya Arno menyerah dan membiarkan anak itu bermain dengan apa yang dia sukai. Arno lalu pergi ke dalam hutan untuk berburu sementara aku bertugas dengan air dan pupuk.
Waktupun terus berlalu, aku sudah selesai dengan pekerjaanku sejak tadi. Arno masih belum kembali dari hutan. Dan Hugo sudah tertidur seperti bayi di dalam dangau, dalam cuaca panas sepeti ini memang sangat nikmat tidur didalam ruangan yang teduh. Melihat Hugo yang tertidur, mataku terasa sangat berat dan mulai ikut terpejam. Hingga aku melihat semak-semak disekitar kebun bergoyang. Aku mengambil pisauku, bersiap melemparnya jika itu babi hutan. Tapi ternyata itu seekor kelinci liar berwarna putih. Kelinci itu melompat-lompat kearahku. Aku tersenyum. Segera turun dari dangau dan mengelus kelinci putih itu.
Bulu kelinci putih itu lembut sekali. Irish mungkin akan senang jika aku membawanya pulang dan memeliharanya. Tapi kelinci itu tiba-tiba saja melompat kabur setelah telinganya bergoyang-goyang sedikit. Aku bertanya-tanya kenapa kelinci itu kabur hingga aku tahu jawabannya. Sebuah teriakan dari dalam hutan, suara yang kukenali. “TOLONG!”  teriakan itu sangat kencang, bahkan Hugo sampai terbangun dari tidur lelapnya. Dadaku berdegup kencang. Pikiran buruk memenuhi kepalaku......Read more


Mau lihat lebih lengkap, Cek wattpad kami di :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar