2
ARNO
Aku duduk
memeluk lutut di dalam gua itu, menangis. Kenapa?
Pikirku, Kenapa Aku membiarkan Ibu
pergi?. Aku tidak berani melangkah
keluar dari gua. Hujan deras mulai berhenti saat tengah malam, menyisakan
genangan air dan lumpur. Aku tidak berani memejamkan mata walau sedetik, takut
orang-orang berkuda itu datang dan membunuhku juga. Walaupun Aku tahu, mereka
sudah pergi setelah membunuh Ibu. Siapa
mereka? Aku tidak tahu jawabannya. Mereka datang tiba-tiba dari arah hutan,
saat Aku dan Ibu sedang berada di ladang. Air mataku deras mengalir dipipiku,
teringat beberapa jam yang lalu kami berdua masih tertawa-tawa bahagia, asik
bercengkrama, sekarang?...
Jadilah anak yang kuat Arno, anak yang pemberani. Kata-kata Ibu
terngiang dikepalaku, Aku mengusap air mata, berusaha untuk tetap tegar. Anak
yang kuat, anak yang pemberani, itulah permintaan terakhir Ibu padaku, dan Aku
berjanji akan mengabulkannya. Aku bangkit berdiri, melihat keadaan diluar,
sepi. Hanya suara-suara hewan malam yang terdengar. Tidak ada tanda-tanda
orang-orang berkuda itu. Aku hendak melangkah keluar saat kata-kata Ibu kembali
terngiang dikepalaku Apapun yang terjadi
jangan keluar dari sini, membuatku urung keluar gua. Sekarang yang bisa
kulakukan hanyalah menunggu Ayah menjemputku esok pagi. Aku kembali duduk di
lantai gua yang dingin dan gelap, berusaha untuk tetap terjaga, namun usahaku
gagal, rasa kantuk dan lelah akhirnya membuatku terlelap.
Aku terbangun,
tanpa teriakan seperti biasanya. Aku membuka gorden, membiarkan cahaya matahari
pagi menerobos masuk. Menuruni tangga kayu, Aku beranjak ke dapur, kulihat
Irish sedang menyiapkan sarapan. Gadis kecil itu memang yang paling awal bangun
tidur. Aku mendekatinya, mencium aroma masakannya yang memenuhi dapur. Irish
sedikit kaget dengan kehadiranku, “Kak Arno?... tumben kau bangun pagi tanpa
berteriak,” Irish tertawa kecil, melanjutkan pekerjaannya.
“Kau masak apa
Rish?” Aku melongok ke dalam panci yang sedang diaduk-aduk Irish.
“Bubur.”
Jawabnya sambil menyendok bubur itu dengan sendok sayur lalu mencicipinya, Ia
lalu bergumam sendiri, lantas mengambil rempah-rempah dari lemari dapur dan
menuangkannya ke dalam panci.
Aku memutuskan
untuk meninggalkan Irish dengan pekerjaannya. Kembali ke lantai atas, Aku
membuka pintu kamar disebelahku, kamar Raven. Kulihat anak itu masih tertidur
dengan posisi aneh—satu kakinya ditekuk dan kaki lainnya diletakkan di atasnya.
Lalu kedua tangannya disilangkan di belakang kepalanya—dan dia bahkan mengorok.
Selimut dan bantal gulingnya terjatuh di lantai. Aku menyeringai, mengambil
guling itu dari lantai dan menimpuk Raven dengan sedikit agak keras, “Bangun
pemalas.” Raven terlonjak bangun dari tidurnya, Aku hanya bisa tertawa melihat
ekspresinya saat itu. Ia langsung menatapku kesal karena memutus mimpinya dan
segera membalas dengan menimpukku. Aku menghindarinya, berlari keluar kamar
sementara Ia sibuk dengan sumpah serapahnya.
Aku segera mandi
dan berganti pakaian, baru Aku keluar dari kamar mandi, tiba-tiba saja
seseorang menendang kakiku, Raven membalas dendam rupanya. Ia menyeringai penuh
kepuasan melihatku mengaduh kesakitan sambil mengusap lututku. Setelah menjemur
handukku di halaman belakang, Aku menuju meja makan yang sudah penuh dengan
empat piring bubur yang terlihat lezat. Irish sudah menghabiskan setengah
porsinya. Ayah baru keluar dari kamarnya dan segera mencuci muka di wastafel
lalu bergabung bersama kami, kemudian Raven menyusul sepuluh menit kemudian.
Sarapan berlangsung seperti biasanya. Irish asik bercerita tentang kegiatan
sekolahnya hari ini, sementara Raven seperti biasa menggodanya, membuat ramai
ruang makan dengan gelak tawa.
Selesai sarapan Irish
langsung berangkat ke sekolahnya. Ayahku seperti biasa duduk di kursi goyang di
teras rumah, dan Raven mungkin sibuk dengan kayu ukirannya. Aku sudah selesai
membereskan semua piring-piring kotor, jadi Aku memutuskan mungkin sudah
saatnya pergi ke ladang. Aku tidak membawa busur dan panahku, daging sapi
kemarin masih cukup untuk tiga hari kedepan. Setelah pamit pada Ayah, Aku
segera menuruni anak tangga. Seperti dugaanku Raven sedang mengukir kayunya.
Bentuknya sudah mulai terlihat sekarang, seekor burung gagak. Ia segera
melihatku dan meletakkan kayunya di tempatnya. Kami segera berjalan menuju
bibir hutan.
Saat sedang
berjalan melewati pepohonan, seseorang memanggilku. Aku menoleh ke sumber suara
yang asalnya dari balik pohon pinus. Amy berdiri disana, menatapku dengan
senyumannya. Melihatnya tersenyum membuatku ikut tersenyum, “Amy, apa yang kau
lakukan di hutan sepagi ini?”
“Apa kau bisa
ikut denganku?” Amy tidak menjawab pertanyaanku.
“Kemana?”
“Tidak jauh, Kau
sangat mengenal tempat itu.” Aku berpikir sejenak kemudian mengangguk. Lalu Amy
melihat Raven, “Dan maaf tapi sebaiknya kau tidak ikut Rav,”
Mendengar hal
itu membuat wajah Raven sedikit muram tapi kemudian anak itu mengangguk kaku,
“Kalau begitu Aku akan duluan ke kebun Arno.” Dan anak itu pun segera pergi.
Meninggalkan Aku dan Amy.
Amy mengajakku
ke sebuah tempat di tengah hutan, masih bagian Hutan Luar. Sebuah bangunan yang
terbuat dari kayu yang sudah menghitam dan sedikit reot berdiri di hadapanku.
Aku mengenali bangunan tua ini. Dulunya tempat ini adalah tempat berkumpul para
pemburu. Tempat kami menukar hasil buruan kami dengan hasil pemburu lainnya.
Sebut saja tempat ini sebagai pasar gelap. Namun semenjak kehadiran babi-babi
itu sekitar satu tahun yang lalu, tempat ini mulai ditinggalkan. Para pemburu
lebih memilih menjual buruannya di pasar desa sekarang. Tapi Aku tidak
menyangka tempat ini masih berdiri, padahal katanya tempat ini sudah
dirobohkan.
“Occult,” Amy
membuka suara, “Tempat ini sekarang pun masih dihuni oleh para pemburu asal kau
tahu. Di dalam sudah banyak para pemburu yang berkumpul, bahkan pemburu dari
Kota Provinsi. Kepala Desa yang
mengundang mereka. Kita akan membahas perburuan babi raksasa itu.”
Mendengar
ucapannya Aku sedikit terkejut, “Orang-orang dari Provinsi? Perburuan? Apa
maksudnya ini? Ayahku bilang para tetua
sepakat untuk tidak melakukan perburuan itu.”
Amy hanya
mengangkat bahunya, “Dengarkan saja penjelasan Kepala Desa nanti.” Sebenarnya
Aku masih ingin bertanya satu-dua hal, tapi lebih baik Aku diam dan menunggu.
Amy mendorong pintu kayu Occult, lalu kami berdua masuk. Di dalam sana sudah
ada banyak orang dengan senjata-senjata berburu mereka, Aku mengenali
beberapa—walau lebih banyak yang tidak. Orang-orang yang tidak kukenali itu
kebanyakan mengenakan pakaian seperti seragam berwarna hijau gelap, kutebak
mereka para pemburu dari Kota Provinsi. Wajah-wajah dingin khas para pemburu
menyapa kami, walau ada juga yang menatap kami sambil tersenyum ramah.
Amy menyibak
kerumunan dan membawaku ke salah satu meja di tengah ruangan, dimana Kepala
Desa tengah asik berbincang dengan Jade dan dua orang lainnya yang tidak
kukenal—mereka mengenakan seragam hijau yang sama jadi mereka pastilah orang
dari Kota, dan kutebak mungkin pemimpinnya. Melihatku datang Kepala Desa
berdiri, menyambutku dengan senyuman lebar, “Ah akhirnya kau datang juga Arno.
Kami sudah menunggumu.” Kami berjabat tangan sebentar, kemudian Ia menyuruhku
duduk di kursi yang masih kosong. Pandanganku
langsung tertuju kepada dua orang asing yang duduk di hadapanku. “Ah, kau pasti
tidak mengenal mereka kan, Arno?” Kepala Desa bertanya padaku yang kujawab
dengan gelengan. “Mari kuperkenalkan. Yang satu itu Foster, dia adalah salah
satu pemburu terbaik yang datang dari Kota Provinsi.” Kepala Desa mengenalkan
seorang pria bertubuh kekar dengan kulit gelap itu kepadaku. Wajahnya
terlihat garang dengan bekas luka melintang di pipinya. Ia tersenyum
memandangku—yang membuatnya terlihat lebih mengerikan—dengan tatapan matanya
yang tajam. Aku menyalami tangannya yang tegap dan berisi. “Lalu
yang disebelahnya itu Neil, dia adalah asisten pribadi Foster. Jangan remehkan
umurnya yang masih muda, Ia yang terbaik dalam hal bertahan hidup diluar sana.”
Pandanganku teralih pada pemuda disebelahnya yang sekarang tersenyum ramah kepadaku. Yang satu ini terlihat lebih
ramah daripada orang yang tadi. Aku
menyalaminya, kuperhatikan mungkin umurnya hanya berbeda satu-dua tahun
denganku. “Mereka berdua datang jauh-jauh dari Kota Provinsi untuk membantu
kita memburu babi raksasa itu Arno.”
“Yah berburu memang sudah mejadi hobi kami, sih.”
Timpal Foster diiringi tawa lebar.
“Perburuan babi itu akan dilaksanakan sekitar dua
minggu lagi Arno,” Kepala Desa melanjutkan, “Dan Aku secara resmi
mengajakmu untuk ikut dalam misi ini.”
Mataku
membulat, sungguh? Astaga, Aku tak
percaya hal ini. Dalam hati Aku bersorak kegirangan. Tapi tiba-tiba Aku
teringat sesuatu, Ayah. “Terima kasih Tuan Khan, Aku menerima tawaranmu itu,
hanya saja…”
Kepala Desa, yang tahu apa yang kupikirkan, menggeleng.
“Jangan khawatirkan tentang Ayahmu, Aku sudah mempersiapkan rencana untuk itu.”
Kepala Desa melanjutkan, “Aku akan bilang pada Ayahmu kalau kau akan pergi ke
Kota Provinsi untuk beberapa urusan, jadi pasti Ayahmu takkan curiga.” Aku tak
yakin kalau Ayah takkan curiga tapi Aku mengangguk menyetujui ide itu. “Tapi
tentu kau mau kan, ikut dalam misi ini?” Kepala Desa bertanya lagi untuk
memastikan.”
Aku mengangguk
mantap. “Baguslah kalau begitu, oh tapi kau harus merahasiakan ini dari orang
lain.” Aku mengangguk lagi. Kepala Desa tersenyum lebar, namun sedetik kemudian
mendadak wajahnya menjadi serius. Lalu ia mencondongkan tubuhnya ke arahku dan
memelankan suaranya. “Amy memberitahuku tentang kejadian yang kau alami kemarin
Arno, dan idemu tentang manusia di Hutan Dalam,” Aku menoleh pada Amy
disebelahku yang ekspresinya serupa dengan Tuan Khan, lalu ia melanjutkan,
“Foster juga mencurigai adanya aktivitas aneh di dalam sana, karenanya kalian
berlima selain memburu babi itu, juga mendapat misi rahasia menyelidiki
orang-orang itu.”
Aku tak percaya
pada apa yang kudengar barusan, bertanya pada Foster apakah ini benar. Dan
sebagai balasan pria itu mengangguk. “Setahun yang lalu aku pernah masuk ke
Hutan Dalam sana untuk berburu, dan hasilnya beberapa anggotaku hilang tanpa
jejak saat malam hari, semuanya anggota terbaikku. Bahkan aku juga curiga saat
itu aku juga menjadi target penculikan.”
“Persis seperti
yang terjadi pada Gale, Frank, dan Hugues.” Jade membuka suara. Kepala Desa
sedikit menundukkan kepala, Hugues adalah putranya.
“Lalu sebulan
yang lalu,” Foster melanjutkan ceritanya, “Saat aku memasuki Hutan Dalam itu
dari rute timur untuk menebang pohon, tiba-tiba saja ada panah yang melesat ke
arahku, mengenai bahuku.” Foster membuka bajunya dan memperlihatkan bahu
kirinya yang dibalut perban. “Aku tidak tahu apa mereka hanya bermaksud
melindungi hutan itu atau tidak. Tapi aku merasakan suatu aura yang jahat dari
dalam hutan itu.”
Neil tiba-tiba
mengambil sebuah gulungan yang berukuran cukup besar yang diletakan di dekat
kakinya lalu menggelarnya diatas meja. Sebuah peta. “Peta Hutan Dalam,”
gumamku.
Ada banyak
tempat yang diberi tanda silang dengan spidol merah di peta itu. “Ini adalah
tempat yang dicurigai sebagai markas orang-orang itu—kalau mereka benar-benar
ada.” Jelas Neil menunjuk tanda silang itu.....Read more
Mau lihat kelanjutannya, Cek wattpad kami di :
Mau lihat kelanjutannya, Cek wattpad kami di :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar