Sabtu, 18 Maret 2017

Unity chapter 2



2
ARNO
Aku duduk memeluk lutut di dalam gua itu, menangis. Kenapa? Pikirku, Kenapa Aku membiarkan Ibu pergi?.  Aku tidak berani melangkah keluar dari gua. Hujan deras mulai berhenti saat tengah malam, menyisakan genangan air dan lumpur. Aku tidak berani memejamkan mata walau sedetik, takut orang-orang berkuda itu datang dan membunuhku juga. Walaupun Aku tahu, mereka sudah pergi setelah membunuh Ibu. Siapa mereka? Aku tidak tahu jawabannya. Mereka datang tiba-tiba dari arah hutan, saat Aku dan Ibu sedang berada di ladang. Air mataku deras mengalir dipipiku, teringat beberapa jam yang lalu kami berdua masih tertawa-tawa bahagia, asik bercengkrama, sekarang?...
Jadilah anak yang kuat Arno, anak yang pemberani. Kata-kata Ibu terngiang dikepalaku, Aku mengusap air mata, berusaha untuk tetap tegar. Anak yang kuat, anak yang pemberani, itulah permintaan terakhir Ibu padaku, dan Aku berjanji akan mengabulkannya. Aku bangkit berdiri, melihat keadaan diluar, sepi. Hanya suara-suara hewan malam yang terdengar. Tidak ada tanda-tanda orang-orang berkuda itu. Aku hendak melangkah keluar saat kata-kata Ibu kembali terngiang dikepalaku Apapun yang terjadi jangan keluar dari sini, membuatku urung keluar gua. Sekarang yang bisa kulakukan hanyalah menunggu Ayah menjemputku esok pagi. Aku kembali duduk di lantai gua yang dingin dan gelap, berusaha untuk tetap terjaga, namun usahaku gagal, rasa kantuk dan lelah akhirnya membuatku terlelap.
Aku terbangun, tanpa teriakan seperti biasanya. Aku membuka gorden, membiarkan cahaya matahari pagi menerobos masuk. Menuruni tangga kayu, Aku beranjak ke dapur, kulihat Irish sedang menyiapkan sarapan. Gadis kecil itu memang yang paling awal bangun tidur. Aku mendekatinya, mencium aroma masakannya yang memenuhi dapur. Irish sedikit kaget dengan kehadiranku, “Kak Arno?... tumben kau bangun pagi tanpa berteriak,” Irish tertawa kecil, melanjutkan pekerjaannya.
“Kau masak apa Rish?” Aku melongok ke dalam panci yang sedang diaduk-aduk Irish.
“Bubur.” Jawabnya sambil menyendok bubur itu dengan sendok sayur lalu mencicipinya, Ia lalu bergumam sendiri, lantas mengambil rempah-rempah dari lemari dapur dan menuangkannya ke dalam panci.
Aku memutuskan untuk meninggalkan Irish dengan pekerjaannya. Kembali ke lantai atas, Aku membuka pintu kamar disebelahku, kamar Raven. Kulihat anak itu masih tertidur dengan posisi aneh—satu kakinya ditekuk dan kaki lainnya diletakkan di atasnya. Lalu kedua tangannya disilangkan di belakang kepalanya—dan dia bahkan mengorok. Selimut dan bantal gulingnya terjatuh di lantai. Aku menyeringai, mengambil guling itu dari lantai dan menimpuk Raven dengan sedikit agak keras, “Bangun pemalas.” Raven terlonjak bangun dari tidurnya, Aku hanya bisa tertawa melihat ekspresinya saat itu. Ia langsung menatapku kesal karena memutus mimpinya dan segera membalas dengan menimpukku. Aku menghindarinya, berlari keluar kamar sementara Ia sibuk dengan sumpah serapahnya.
 Aku segera mandi dan berganti pakaian, baru Aku keluar dari kamar mandi, tiba-tiba saja seseorang menendang kakiku, Raven membalas dendam rupanya. Ia menyeringai penuh kepuasan melihatku mengaduh kesakitan sambil mengusap lututku. Setelah menjemur handukku di halaman belakang, Aku menuju meja makan yang sudah penuh dengan empat piring bubur yang terlihat lezat. Irish sudah menghabiskan setengah porsinya. Ayah baru keluar dari kamarnya dan segera mencuci muka di wastafel lalu bergabung bersama kami, kemudian Raven menyusul sepuluh menit kemudian. Sarapan berlangsung seperti biasanya. Irish asik bercerita tentang kegiatan sekolahnya hari ini, sementara Raven seperti biasa menggodanya, membuat ramai ruang makan dengan gelak tawa.
Selesai sarapan Irish langsung berangkat ke sekolahnya. Ayahku seperti biasa duduk di kursi goyang di teras rumah, dan Raven mungkin sibuk dengan kayu ukirannya. Aku sudah selesai membereskan semua piring-piring kotor, jadi Aku memutuskan mungkin sudah saatnya pergi ke ladang. Aku tidak membawa busur dan panahku, daging sapi kemarin masih cukup untuk tiga hari kedepan. Setelah pamit pada Ayah, Aku segera menuruni anak tangga. Seperti dugaanku Raven sedang mengukir kayunya. Bentuknya sudah mulai terlihat sekarang, seekor burung gagak. Ia segera melihatku dan meletakkan kayunya di tempatnya. Kami segera berjalan menuju bibir hutan.
Saat sedang berjalan melewati pepohonan, seseorang memanggilku. Aku menoleh ke sumber suara yang asalnya dari balik pohon pinus. Amy berdiri disana, menatapku dengan senyumannya. Melihatnya tersenyum membuatku ikut tersenyum, “Amy, apa yang kau lakukan di hutan sepagi ini?”
“Apa kau bisa ikut denganku?” Amy tidak menjawab pertanyaanku.
“Kemana?”
“Tidak jauh, Kau sangat mengenal tempat itu.” Aku berpikir sejenak kemudian mengangguk. Lalu Amy melihat Raven, “Dan maaf tapi sebaiknya kau tidak ikut Rav,”
Mendengar hal itu membuat wajah Raven sedikit muram tapi kemudian anak itu mengangguk kaku, “Kalau begitu Aku akan duluan ke kebun Arno.” Dan anak itu pun segera pergi. Meninggalkan Aku dan Amy.
Amy mengajakku ke sebuah tempat di tengah hutan, masih bagian Hutan Luar. Sebuah bangunan yang terbuat dari kayu yang sudah menghitam dan sedikit reot berdiri di hadapanku. Aku mengenali bangunan tua ini. Dulunya tempat ini adalah tempat berkumpul para pemburu. Tempat kami menukar hasil buruan kami dengan hasil pemburu lainnya. Sebut saja tempat ini sebagai pasar gelap. Namun semenjak kehadiran babi-babi itu sekitar satu tahun yang lalu, tempat ini mulai ditinggalkan. Para pemburu lebih memilih menjual buruannya di pasar desa sekarang. Tapi Aku tidak menyangka tempat ini masih berdiri, padahal katanya tempat ini sudah dirobohkan.
“Occult,” Amy membuka suara, “Tempat ini sekarang pun masih dihuni oleh para pemburu asal kau tahu. Di dalam sudah banyak para pemburu yang berkumpul, bahkan pemburu dari Kota Provinsi.  Kepala Desa yang mengundang mereka. Kita akan membahas perburuan babi raksasa itu.”
Mendengar ucapannya Aku sedikit terkejut, “Orang-orang dari Provinsi? Perburuan? Apa maksudnya ini?  Ayahku bilang para tetua sepakat untuk tidak melakukan perburuan itu.”
Amy hanya mengangkat bahunya, “Dengarkan saja penjelasan Kepala Desa nanti.” Sebenarnya Aku masih ingin bertanya satu-dua hal, tapi lebih baik Aku diam dan menunggu. Amy mendorong pintu kayu Occult, lalu kami berdua masuk. Di dalam sana sudah ada banyak orang dengan senjata-senjata berburu mereka, Aku mengenali beberapa—walau lebih banyak yang tidak. Orang-orang yang tidak kukenali itu kebanyakan mengenakan pakaian seperti seragam berwarna hijau gelap, kutebak mereka para pemburu dari Kota Provinsi. Wajah-wajah dingin khas para pemburu menyapa kami, walau ada juga yang menatap kami sambil tersenyum ramah.
Amy menyibak kerumunan dan membawaku ke salah satu meja di tengah ruangan, dimana Kepala Desa tengah asik berbincang dengan Jade dan dua orang lainnya yang tidak kukenal—mereka mengenakan seragam hijau yang sama jadi mereka pastilah orang dari Kota, dan kutebak mungkin pemimpinnya. Melihatku datang Kepala Desa berdiri, menyambutku dengan senyuman lebar, “Ah akhirnya kau datang juga Arno. Kami sudah menunggumu.” Kami berjabat tangan sebentar, kemudian Ia menyuruhku duduk di kursi yang masih kosong. Pandanganku langsung tertuju kepada dua orang asing yang duduk di hadapanku. “Ah, kau pasti tidak mengenal mereka kan, Arno?” Kepala Desa bertanya padaku yang kujawab dengan gelengan. “Mari kuperkenalkan. Yang satu itu Foster, dia adalah salah satu pemburu terbaik yang datang dari Kota Provinsi.” Kepala Desa mengenalkan seorang pria bertubuh kekar dengan kulit gelap itu kepadaku. Wajahnya terlihat garang dengan bekas luka melintang di pipinya. Ia tersenyum memandangku—yang membuatnya terlihat lebih mengerikan—dengan tatapan matanya yang tajam. Aku menyalami tangannya yang tegap dan berisi. “Lalu yang disebelahnya itu Neil, dia adalah asisten pribadi Foster. Jangan remehkan umurnya yang masih muda, Ia yang terbaik dalam hal bertahan hidup diluar sana.” Pandanganku teralih pada pemuda disebelahnya yang sekarang tersenyum ramah kepadaku. Yang satu ini terlihat lebih ramah daripada orang yang tadi. Aku menyalaminya, kuperhatikan mungkin umurnya hanya berbeda satu-dua tahun denganku. “Mereka berdua datang jauh-jauh dari Kota Provinsi untuk membantu kita memburu babi raksasa itu Arno.”
“Yah berburu memang sudah mejadi hobi kami, sih.” Timpal Foster diiringi tawa lebar.
“Perburuan babi itu akan dilaksanakan sekitar dua minggu lagi Arno,” Kepala Desa melanjutkan, “Dan Aku secara resmi mengajakmu untuk ikut dalam misi ini.”
 Mataku membulat, sungguh? Astaga, Aku tak percaya hal ini. Dalam hati Aku bersorak kegirangan. Tapi tiba-tiba Aku teringat sesuatu, Ayah. “Terima kasih Tuan Khan, Aku menerima tawaranmu itu, hanya saja…”
Kepala Desa, yang tahu apa yang kupikirkan, menggeleng. “Jangan khawatirkan tentang Ayahmu, Aku sudah mempersiapkan rencana untuk itu.” Kepala Desa melanjutkan, “Aku akan bilang pada Ayahmu kalau kau akan pergi ke Kota Provinsi untuk beberapa urusan, jadi pasti Ayahmu takkan curiga.” Aku tak yakin kalau Ayah takkan curiga tapi Aku mengangguk menyetujui ide itu. “Tapi tentu kau mau kan, ikut dalam misi ini?” Kepala Desa bertanya lagi untuk memastikan.”
Aku mengangguk mantap. “Baguslah kalau begitu, oh tapi kau harus merahasiakan ini dari orang lain.” Aku mengangguk lagi. Kepala Desa tersenyum lebar, namun sedetik kemudian mendadak wajahnya menjadi serius. Lalu ia mencondongkan tubuhnya ke arahku dan memelankan suaranya. “Amy memberitahuku tentang kejadian yang kau alami kemarin Arno, dan idemu tentang manusia di Hutan Dalam,” Aku menoleh pada Amy disebelahku yang ekspresinya serupa dengan Tuan Khan, lalu ia melanjutkan, “Foster juga mencurigai adanya aktivitas aneh di dalam sana, karenanya kalian berlima selain memburu babi itu, juga mendapat misi rahasia menyelidiki orang-orang itu.”
Aku tak percaya pada apa yang kudengar barusan, bertanya pada Foster apakah ini benar. Dan sebagai balasan pria itu mengangguk. “Setahun yang lalu aku pernah masuk ke Hutan Dalam sana untuk berburu, dan hasilnya beberapa anggotaku hilang tanpa jejak saat malam hari, semuanya anggota terbaikku. Bahkan aku juga curiga saat itu aku juga menjadi target penculikan.”
“Persis seperti yang terjadi pada Gale, Frank, dan Hugues.” Jade membuka suara. Kepala Desa sedikit menundukkan kepala, Hugues adalah putranya.
“Lalu sebulan yang lalu,” Foster melanjutkan ceritanya, “Saat aku memasuki Hutan Dalam itu dari rute timur untuk menebang pohon, tiba-tiba saja ada panah yang melesat ke arahku, mengenai bahuku.” Foster membuka bajunya dan memperlihatkan bahu kirinya yang dibalut perban. “Aku tidak tahu apa mereka hanya bermaksud melindungi hutan itu atau tidak. Tapi aku merasakan suatu aura yang jahat dari dalam hutan itu.”
Neil tiba-tiba mengambil sebuah gulungan yang berukuran cukup besar yang diletakan di dekat kakinya lalu menggelarnya diatas meja. Sebuah peta. “Peta Hutan Dalam,” gumamku.
Ada banyak tempat yang diberi tanda silang dengan spidol merah di peta itu. “Ini adalah tempat yang dicurigai sebagai markas orang-orang itu—kalau mereka benar-benar ada.” Jelas Neil menunjuk tanda silang itu.....Read more


Mau lihat kelanjutannya, Cek wattpad kami di :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar