Minggu, 26 Maret 2017

Unity chapter 3


RAVEN
Sekitar tujuh puluh tahun yang lalu, Perang Dunia III berkecamuk. Karena alasan yang telah dilupakan, perang ini terjadi, hanya beberapa orang di dunia ini yang mengetahui persis alasan pecahnya perang ini. Perang Dunia III menjadi perang paling mengerikan sepanjang sejarah umat manusia. Seluruh negara di dunia saat itu terlibat dalam peperangan ini. Nuklir menjadi senjata favorit saat itu. Membuat beberapa daratan di permukaan bumi rusak dan tidak dapat dihuni lagi.
Sejumlah negara bahkan memanfaatkan kekuatan alam. Saat itu telah tercipta teknologi penggerak lempeng bumi. Dengan ini mereka membuat gempa-gempa artifisial berkekuatan hebat. Lalu menyusul tsunami dan gunung meletus. Karena bencana ini—terutama karena gempa buminya—banyak pulau-pulau besar yang mengalami retakan dan akhirnya terpecah menjadi pulau-pulau kecil. Peta dunia sudah tidak akan pernah sama lagi.
Banyak satelit-satelit di angkasa sana dihancurkan, memutus teknologi komunikasi dan sebagainya. Belum lagi, bom-bom elektromagnetik yang diledakan di sejumlah tempat. Listrik menjadi barang langka saat itu—bahkan hingga sekarang. Persediaan minyak bumi yang semakin menipis membuat banyak alat transportasi teronggok bisu. Kelaparan menjadi hal yang lazim ditemui. Juga pencurian dan pembunuhan, tidak ada aparat hukum yang peduli lagi.
Umat manusia hampir musnah saat itu. Beruntung, sebelum semuanya terlambat, perang berakhir. Dengan menyisakan dataran yang hancur, nyawa yang hilang, dan kesedihan mendalam yang tidak dapat terobati lagi. Manusia mulai membangun peradabannya lagi, dari nol. Berusaha untuk mengembalikan bumi seperti sediakala, mereka akan berjuang. Tapi ada satu yang tidak akan mereka kembalikan. Sesuatu yang amat penting untuk dunia ini.
Persatuan.
Para pemimpin negara, untuk menandai berakhirnya perang, berkumpul dan membuat perjanjian besar. Bahwa negara satu dengan negara lainnya tidak diperbolehkan melakukan kerja sama dalam bentuk apapun, tidak diperbolehkan melanggar batas wilayah, tidak diperbolehkan untuk mengganggu masing-masing negara, termasuk memberikan bantuan dalam bentuk apapun untuk mencegah perang lainnya terjadi.

***

Aku berlari secepat yang kubisa. Kusibak lebatnya dedaunan yang ada di hadapanku dengan pisauku ini. Saking cepatnya aku berlari, kakiku tersandung bebatuan lalu tubuhku terjatuh menuruni tanah yang sedikit landai. Tubuhku baru berhenti terguling setelah sampai di sebuah sungai kecil berlumpur. Aku sudah tidak peduli lagi pada pakaianku yang super kotor. Sekarang aku harus menemukan Arno. Kuteriakkan namanya satu kali. Tidak ada jawaban. Aku menatap aliran air sungai dibawahku yang warnanya memerah. Pikiran buruk segera masuk ke kepalaku. Tidak mungkin!. Aku mengusir pikiran buruk itu, segera menyusuri sungai kecil. Berharap pikiran burukku tidak terjadi.
Namun, apa yang kutakutkan terjadi. Tubuh Arno tergeletak bersimbah darah beberapa meter dariku. Mulutku ternganga, lututku gemetar. “ARNO!” Aku berlari menghampirinya. Baru setengah jalan, tiba-tiba tubuh lain terguling lagi, tergeletak persis di hadapanku. “Amy...” Aku memandangi mayatnya yang terbujur kaku dengan darah di mana-mana. Kepalaku menoleh ke atas pepohonan, seseorang sedang membidikan panahnya ke arahku. Lalu panah itu melesat, menembus tubuhku.
“AKH,” Aku terbangun dengan perasaan ketakutan, badanku sedingin dan sepucat orang mati. Napasku menderu. Seseorang membuka pintu kamarku, “Apa semua orang harus bangun dengan teriakan di pagi hari!?” Irish mengomel. Aku hanya membisikan kata maaf tanpa meliriknya, masih memikirkan tentang mimpi itu. Aku sadar itu hanyalah mimpi, tetapi terasa sangat nyata dan kuyakin itu sebuah pertanda bahwa hal buruk akan terjadi cepat atau lambat. Sepanjang hidupku, itu adalah mimpi paling mengerikan yang pernah kualami.
Menggelengkan kepalaku, aku menghilangkan pikiran buruk dari otakku. Setelah sedikit tenang, aku turun dari kamarku dan berusaha untuk menjalankan aktivitasku dengan normal. Berusaha untuk melupakan mimpi itu.
Kulihat Arno di kamarnya masih terlelap. Semalam Ayah menceramahinya panjang lebar. Melarang keras pergi ke Hutan Dalam. Aku jadi merasa bersalah karena telah me-ngadukannya.
Karenanya hari ini aku memutuskan untuk kembali pergi ke kebun lagi. Liburan sudah berakhir. Arno sama sekali tak berbicara padaku—walaupun biasanya juga kami jarang mengobrol. Kurasa ia masih sedikit kesal karena perbuatanku kemarin. Jadi kuputuskan untuk membuka pembicaraan terlebih dahulu.
“Maafkan aku... soal kemarin.” Hening. Arno tidak menjawabku, bahkan melirik pun tidak. “Maafkan aku,” aku mengulangi perkataanku, “Kau tahu aku sangat ingin pergi ke Hutan Dalam itu. Dan fakta bahwa aku tidak dapat pergi kesana membuatku sangat kesal, kau tahu. Aku tahu caraku salah. Setelah memikirkannya kemarin malam, aku tahu bahwa kalau aku tidak bisa pergi kesana, setidaknya kaulah yang harus pergi. Memburu babi sialan itu. Dan... menyelidiki kematian ibu kita. Dan seharusnya aku membantumu bukannya bertingkah seperti anak kecil. Maafkan aku Arno.”
Kali ini Arno menoleh padaku dan tersenyum. Tangannya terangkat untuk mengacak rambutku—biasanya aku menepisnya tapi kali ini kubiarkan ia melakukannya. “Permintaan maaf diterima. Aku juga minta maaf atas sikapku. Tapi kau jangan khawatir Rav, karena apapun ucapan Ayah, aku tetap akan pergi. Keputusanku sudah bulat.”
“Apa tidak apa-apa, maksudku, Ayah akan marah besar.”
Arno hanya mengangkat bahu, “Jika itu yang terjadi maka terjadilah.”
“Arno...” aku ingin menceritakan mimpiku tapi urung, membuat Arno menatapku bingung.
“Kenapa?”
“Tidak jadi,” aku menggeleng. Di tengah jalan, kami berdua bertemu Hugo. Ia kawanku yang sedikit... idiot kurasa. Lihat saja tingkahnya, mengejar kupu-kupu di tengah hutan seperti anak kecil berumur lima tahun—bahkan anak kecil berumur lima tahun tak akan melakukan hal itu—padahal umurnya setahun lebih tua dibandingkanku.
“HAI HUGO.....” sapa kami berdua sambil melambaikan tangan dan tersenyum. Dia hanya tertawa dan bertepuk tangan dengan gayanya yang khas. Kami melanjutkan perjalanan namun kulihat Hugo mengikuti di belakang kami. Kami membiarkannya, lagipula itu tak menggangguku—justru malah menjadi hiburan melihat tingkahnya yang konyol. Sesekali kami tertawa karena tingkahnya. Ide jail muncul diotakku. Aku sedikit berjinjit dan membisikannya pada Arno. Lalu ia tersenyum tak kalah jailnya denganku. Sedetik kemudian kami berdua berlari meninggalkan Hugo yang mendadak panik. Eksperinya, aku tak bisa berhenti tertawa melihat wajahnya yang cemas seperti itu. Lalu ia berteriak-teriak tak jelas sambil mengejar kami dengan gaya larinya yang konyol.
Kami berdua terus berlari meninggalkan Hugo. Sesekali berhenti untuk menunggunya. Hugo adalah anak kedua Kepala Desa. Sejak kecil tingkahnya memang seperti itu. Ia juga jarang berbicara, membuatnya menjadi bahan olok-olok teman-teman yang lain. Tapi aku tidak peduli apakah dia idiot atau bukan, dia tetap temanku—teman baikku malah. Ia sering menemaniku pergi ke tempat-tempat rahasia milikku sendiri karena aku tahu ia takkan memberitahu orang lain. Aku juga sering mengajaknya melakukan eksperimen-eksperimen kecil. Seperti latihan membuat senjata atau ramuan. Dengan demikian mungkin aku adalah orang yang sangat mengenal Hugo—bahkan mngkin melebihi orangtuanya sendiri. Aku tahu apa yang membuatnya senang, mengerti perkataannya, mengerti perasaannya, dan hal-hal lain tentangnya. Juga, aku tahu bahwa sebenarnya Hugo tidak bodoh, jenius malah. Tapi dalam cara yang berbeda.
Sesampainya kami di kebun, Kami beristirahat di dangau di pinggir kebun sambil duduk-duduk dan memimum air yang sudah kami siapkan. Botol yang terbuat dari kulit rusa dapat membawa air yang cukup untuk satu orang. Selang lima menit, Hugo pun sampai dengan napas terengah-engah. Aku tersenyum geli meilhatnya, dan kami menyapanya lagi, “Selamat datang Hugo.....” ucap kami sambil menahan tawa karena melihat ekspresinya yang kelelahan. Iapun hanya dapat tersenyum dan mengangkat tangan.
Arno memberikan minumnya kepada Hugo, dia menerima dengan malu-malu. “Te..terimakasih” Bisik Hugo, yang sambil memberikan kembali botol minumnya kepada Arno.
Arno sontak kaget dengan apa yang terjadi. Seperti yang kubilang tadi, anak ini jarang sekali mengeluarkan suara dari mulutnya. Bahkan aku yang sudah sering bersamanya saja hanya satu-dua kali pernah mendengarnya—itupun tidak jelas. “Kau... berbicara?” tanya Arno dengan mulut menganga. Kutebak ini pertama kalinya ia mendengar Hugo berbicara. “Kukira kau bisu...”
Arno merayunya agar mau berbicara seperti tadi, tetapi kali ini Hugo hanya diam dan menggeleng kuat-kuat. Akhirnya Arno menyerah dan membiarkan anak itu bermain dengan apa yang dia sukai. Arno lalu pergi ke dalam hutan untuk berburu sementara aku bertugas dengan air dan pupuk.
Waktupun terus berlalu, aku sudah selesai dengan pekerjaanku sejak tadi. Arno masih belum kembali dari hutan. Dan Hugo sudah tertidur seperti bayi di dalam dangau, dalam cuaca panas sepeti ini memang sangat nikmat tidur didalam ruangan yang teduh. Melihat Hugo yang tertidur, mataku terasa sangat berat dan mulai ikut terpejam. Hingga aku melihat semak-semak disekitar kebun bergoyang. Aku mengambil pisauku, bersiap melemparnya jika itu babi hutan. Tapi ternyata itu seekor kelinci liar berwarna putih. Kelinci itu melompat-lompat kearahku. Aku tersenyum. Segera turun dari dangau dan mengelus kelinci putih itu.
Bulu kelinci putih itu lembut sekali. Irish mungkin akan senang jika aku membawanya pulang dan memeliharanya. Tapi kelinci itu tiba-tiba saja melompat kabur setelah telinganya bergoyang-goyang sedikit. Aku bertanya-tanya kenapa kelinci itu kabur hingga aku tahu jawabannya. Sebuah teriakan dari dalam hutan, suara yang kukenali. “TOLONG!”  teriakan itu sangat kencang, bahkan Hugo sampai terbangun dari tidur lelapnya. Dadaku berdegup kencang. Pikiran buruk memenuhi kepalaku.RAVEN
Sekitar tujuh puluh tahun yang lalu, Perang Dunia III berkecamuk. Karena alasan yang telah dilupakan, perang ini terjadi, hanya beberapa orang di dunia ini yang mengetahui persis alasan pecahnya perang ini. Perang Dunia III menjadi perang paling mengerikan sepanjang sejarah umat manusia. Seluruh negara di dunia saat itu terlibat dalam peperangan ini. Nuklir menjadi senjata favorit saat itu. Membuat beberapa daratan di permukaan bumi rusak dan tidak dapat dihuni lagi.
Sejumlah negara bahkan memanfaatkan kekuatan alam. Saat itu telah tercipta teknologi penggerak lempeng bumi. Dengan ini mereka membuat gempa-gempa artifisial berkekuatan hebat. Lalu menyusul tsunami dan gunung meletus. Karena bencana ini—terutama karena gempa buminya—banyak pulau-pulau besar yang mengalami retakan dan akhirnya terpecah menjadi pulau-pulau kecil. Peta dunia sudah tidak akan pernah sama lagi.
Banyak satelit-satelit di angkasa sana dihancurkan, memutus teknologi komunikasi dan sebagainya. Belum lagi, bom-bom elektromagnetik yang diledakan di sejumlah tempat. Listrik menjadi barang langka saat itu—bahkan hingga sekarang. Persediaan minyak bumi yang semakin menipis membuat banyak alat transportasi teronggok bisu. Kelaparan menjadi hal yang lazim ditemui. Juga pencurian dan pembunuhan, tidak ada aparat hukum yang peduli lagi.
Umat manusia hampir musnah saat itu. Beruntung, sebelum semuanya terlambat, perang berakhir. Dengan menyisakan dataran yang hancur, nyawa yang hilang, dan kesedihan mendalam yang tidak dapat terobati lagi. Manusia mulai membangun peradabannya lagi, dari nol. Berusaha untuk mengembalikan bumi seperti sediakala, mereka akan berjuang. Tapi ada satu yang tidak akan mereka kembalikan. Sesuatu yang amat penting untuk dunia ini.
Persatuan.
Para pemimpin negara, untuk menandai berakhirnya perang, berkumpul dan membuat perjanjian besar. Bahwa negara satu dengan negara lainnya tidak diperbolehkan melakukan kerja sama dalam bentuk apapun, tidak diperbolehkan melanggar batas wilayah, tidak diperbolehkan untuk mengganggu masing-masing negara, termasuk memberikan bantuan dalam bentuk apapun untuk mencegah perang lainnya terjadi.

***

Aku berlari secepat yang kubisa. Kusibak lebatnya dedaunan yang ada di hadapanku dengan pisauku ini. Saking cepatnya aku berlari, kakiku tersandung bebatuan lalu tubuhku terjatuh menuruni tanah yang sedikit landai. Tubuhku baru berhenti terguling setelah sampai di sebuah sungai kecil berlumpur. Aku sudah tidak peduli lagi pada pakaianku yang super kotor. Sekarang aku harus menemukan Arno. Kuteriakkan namanya satu kali. Tidak ada jawaban. Aku menatap aliran air sungai dibawahku yang warnanya memerah. Pikiran buruk segera masuk ke kepalaku. Tidak mungkin!. Aku mengusir pikiran buruk itu, segera menyusuri sungai kecil. Berharap pikiran burukku tidak terjadi.
Namun, apa yang kutakutkan terjadi. Tubuh Arno tergeletak bersimbah darah beberapa meter dariku. Mulutku ternganga, lututku gemetar. “ARNO!” Aku berlari menghampirinya. Baru setengah jalan, tiba-tiba tubuh lain terguling lagi, tergeletak persis di hadapanku. “Amy...” Aku memandangi mayatnya yang terbujur kaku dengan darah di mana-mana. Kepalaku menoleh ke atas pepohonan, seseorang sedang membidikan panahnya ke arahku. Lalu panah itu melesat, menembus tubuhku.
“AKH,” Aku terbangun dengan perasaan ketakutan, badanku sedingin dan sepucat orang mati. Napasku menderu. Seseorang membuka pintu kamarku, “Apa semua orang harus bangun dengan teriakan di pagi hari!?” Irish mengomel. Aku hanya membisikan kata maaf tanpa meliriknya, masih memikirkan tentang mimpi itu. Aku sadar itu hanyalah mimpi, tetapi terasa sangat nyata dan kuyakin itu sebuah pertanda bahwa hal buruk akan terjadi cepat atau lambat. Sepanjang hidupku, itu adalah mimpi paling mengerikan yang pernah kualami.
Menggelengkan kepalaku, aku menghilangkan pikiran buruk dari otakku. Setelah sedikit tenang, aku turun dari kamarku dan berusaha untuk menjalankan aktivitasku dengan normal. Berusaha untuk melupakan mimpi itu.
Kulihat Arno di kamarnya masih terlelap. Semalam Ayah menceramahinya panjang lebar. Melarang keras pergi ke Hutan Dalam. Aku jadi merasa bersalah karena telah me-ngadukannya.
Karenanya hari ini aku memutuskan untuk kembali pergi ke kebun lagi. Liburan sudah berakhir. Arno sama sekali tak berbicara padaku—walaupun biasanya juga kami jarang mengobrol. Kurasa ia masih sedikit kesal karena perbuatanku kemarin. Jadi kuputuskan untuk membuka pembicaraan terlebih dahulu.
“Maafkan aku... soal kemarin.” Hening. Arno tidak menjawabku, bahkan melirik pun tidak. “Maafkan aku,” aku mengulangi perkataanku, “Kau tahu aku sangat ingin pergi ke Hutan Dalam itu. Dan fakta bahwa aku tidak dapat pergi kesana membuatku sangat kesal, kau tahu. Aku tahu caraku salah. Setelah memikirkannya kemarin malam, aku tahu bahwa kalau aku tidak bisa pergi kesana, setidaknya kaulah yang harus pergi. Memburu babi sialan itu. Dan... menyelidiki kematian ibu kita. Dan seharusnya aku membantumu bukannya bertingkah seperti anak kecil. Maafkan aku Arno.”
Kali ini Arno menoleh padaku dan tersenyum. Tangannya terangkat untuk mengacak rambutku—biasanya aku menepisnya tapi kali ini kubiarkan ia melakukannya. “Permintaan maaf diterima. Aku juga minta maaf atas sikapku. Tapi kau jangan khawatir Rav, karena apapun ucapan Ayah, aku tetap akan pergi. Keputusanku sudah bulat.”
“Apa tidak apa-apa, maksudku, Ayah akan marah besar.”
Arno hanya mengangkat bahu, “Jika itu yang terjadi maka terjadilah.”
“Arno...” aku ingin menceritakan mimpiku tapi urung, membuat Arno menatapku bingung.
“Kenapa?”
“Tidak jadi,” aku menggeleng. Di tengah jalan, kami berdua bertemu Hugo. Ia kawanku yang sedikit... idiot kurasa. Lihat saja tingkahnya, mengejar kupu-kupu di tengah hutan seperti anak kecil berumur lima tahun—bahkan anak kecil berumur lima tahun tak akan melakukan hal itu—padahal umurnya setahun lebih tua dibandingkanku.
“HAI HUGO.....” sapa kami berdua sambil melambaikan tangan dan tersenyum. Dia hanya tertawa dan bertepuk tangan dengan gayanya yang khas. Kami melanjutkan perjalanan namun kulihat Hugo mengikuti di belakang kami. Kami membiarkannya, lagipula itu tak menggangguku—justru malah menjadi hiburan melihat tingkahnya yang konyol. Sesekali kami tertawa karena tingkahnya. Ide jail muncul diotakku. Aku sedikit berjinjit dan membisikannya pada Arno. Lalu ia tersenyum tak kalah jailnya denganku. Sedetik kemudian kami berdua berlari meninggalkan Hugo yang mendadak panik. Eksperinya, aku tak bisa berhenti tertawa melihat wajahnya yang cemas seperti itu. Lalu ia berteriak-teriak tak jelas sambil mengejar kami dengan gaya larinya yang konyol.
Kami berdua terus berlari meninggalkan Hugo. Sesekali berhenti untuk menunggunya. Hugo adalah anak kedua Kepala Desa. Sejak kecil tingkahnya memang seperti itu. Ia juga jarang berbicara, membuatnya menjadi bahan olok-olok teman-teman yang lain. Tapi aku tidak peduli apakah dia idiot atau bukan, dia tetap temanku—teman baikku malah. Ia sering menemaniku pergi ke tempat-tempat rahasia milikku sendiri karena aku tahu ia takkan memberitahu orang lain. Aku juga sering mengajaknya melakukan eksperimen-eksperimen kecil. Seperti latihan membuat senjata atau ramuan. Dengan demikian mungkin aku adalah orang yang sangat mengenal Hugo—bahkan mngkin melebihi orangtuanya sendiri. Aku tahu apa yang membuatnya senang, mengerti perkataannya, mengerti perasaannya, dan hal-hal lain tentangnya. Juga, aku tahu bahwa sebenarnya Hugo tidak bodoh, jenius malah. Tapi dalam cara yang berbeda.
Sesampainya kami di kebun, Kami beristirahat di dangau di pinggir kebun sambil duduk-duduk dan memimum air yang sudah kami siapkan. Botol yang terbuat dari kulit rusa dapat membawa air yang cukup untuk satu orang. Selang lima menit, Hugo pun sampai dengan napas terengah-engah. Aku tersenyum geli meilhatnya, dan kami menyapanya lagi, “Selamat datang Hugo.....” ucap kami sambil menahan tawa karena melihat ekspresinya yang kelelahan. Iapun hanya dapat tersenyum dan mengangkat tangan.
Arno memberikan minumnya kepada Hugo, dia menerima dengan malu-malu. “Te..terimakasih” Bisik Hugo, yang sambil memberikan kembali botol minumnya kepada Arno.
Arno sontak kaget dengan apa yang terjadi. Seperti yang kubilang tadi, anak ini jarang sekali mengeluarkan suara dari mulutnya. Bahkan aku yang sudah sering bersamanya saja hanya satu-dua kali pernah mendengarnya—itupun tidak jelas. “Kau... berbicara?” tanya Arno dengan mulut menganga. Kutebak ini pertama kalinya ia mendengar Hugo berbicara. “Kukira kau bisu...”
Arno merayunya agar mau berbicara seperti tadi, tetapi kali ini Hugo hanya diam dan menggeleng kuat-kuat. Akhirnya Arno menyerah dan membiarkan anak itu bermain dengan apa yang dia sukai. Arno lalu pergi ke dalam hutan untuk berburu sementara aku bertugas dengan air dan pupuk.
Waktupun terus berlalu, aku sudah selesai dengan pekerjaanku sejak tadi. Arno masih belum kembali dari hutan. Dan Hugo sudah tertidur seperti bayi di dalam dangau, dalam cuaca panas sepeti ini memang sangat nikmat tidur didalam ruangan yang teduh. Melihat Hugo yang tertidur, mataku terasa sangat berat dan mulai ikut terpejam. Hingga aku melihat semak-semak disekitar kebun bergoyang. Aku mengambil pisauku, bersiap melemparnya jika itu babi hutan. Tapi ternyata itu seekor kelinci liar berwarna putih. Kelinci itu melompat-lompat kearahku. Aku tersenyum. Segera turun dari dangau dan mengelus kelinci putih itu.
Bulu kelinci putih itu lembut sekali. Irish mungkin akan senang jika aku membawanya pulang dan memeliharanya. Tapi kelinci itu tiba-tiba saja melompat kabur setelah telinganya bergoyang-goyang sedikit. Aku bertanya-tanya kenapa kelinci itu kabur hingga aku tahu jawabannya. Sebuah teriakan dari dalam hutan, suara yang kukenali. “TOLONG!”  teriakan itu sangat kencang, bahkan Hugo sampai terbangun dari tidur lelapnya. Dadaku berdegup kencang. Pikiran buruk memenuhi kepalaku......Read more


Mau lihat lebih lengkap, Cek wattpad kami di :


Sabtu, 18 Maret 2017

Unity chapter 2



2
ARNO
Aku duduk memeluk lutut di dalam gua itu, menangis. Kenapa? Pikirku, Kenapa Aku membiarkan Ibu pergi?.  Aku tidak berani melangkah keluar dari gua. Hujan deras mulai berhenti saat tengah malam, menyisakan genangan air dan lumpur. Aku tidak berani memejamkan mata walau sedetik, takut orang-orang berkuda itu datang dan membunuhku juga. Walaupun Aku tahu, mereka sudah pergi setelah membunuh Ibu. Siapa mereka? Aku tidak tahu jawabannya. Mereka datang tiba-tiba dari arah hutan, saat Aku dan Ibu sedang berada di ladang. Air mataku deras mengalir dipipiku, teringat beberapa jam yang lalu kami berdua masih tertawa-tawa bahagia, asik bercengkrama, sekarang?...
Jadilah anak yang kuat Arno, anak yang pemberani. Kata-kata Ibu terngiang dikepalaku, Aku mengusap air mata, berusaha untuk tetap tegar. Anak yang kuat, anak yang pemberani, itulah permintaan terakhir Ibu padaku, dan Aku berjanji akan mengabulkannya. Aku bangkit berdiri, melihat keadaan diluar, sepi. Hanya suara-suara hewan malam yang terdengar. Tidak ada tanda-tanda orang-orang berkuda itu. Aku hendak melangkah keluar saat kata-kata Ibu kembali terngiang dikepalaku Apapun yang terjadi jangan keluar dari sini, membuatku urung keluar gua. Sekarang yang bisa kulakukan hanyalah menunggu Ayah menjemputku esok pagi. Aku kembali duduk di lantai gua yang dingin dan gelap, berusaha untuk tetap terjaga, namun usahaku gagal, rasa kantuk dan lelah akhirnya membuatku terlelap.
Aku terbangun, tanpa teriakan seperti biasanya. Aku membuka gorden, membiarkan cahaya matahari pagi menerobos masuk. Menuruni tangga kayu, Aku beranjak ke dapur, kulihat Irish sedang menyiapkan sarapan. Gadis kecil itu memang yang paling awal bangun tidur. Aku mendekatinya, mencium aroma masakannya yang memenuhi dapur. Irish sedikit kaget dengan kehadiranku, “Kak Arno?... tumben kau bangun pagi tanpa berteriak,” Irish tertawa kecil, melanjutkan pekerjaannya.
“Kau masak apa Rish?” Aku melongok ke dalam panci yang sedang diaduk-aduk Irish.
“Bubur.” Jawabnya sambil menyendok bubur itu dengan sendok sayur lalu mencicipinya, Ia lalu bergumam sendiri, lantas mengambil rempah-rempah dari lemari dapur dan menuangkannya ke dalam panci.
Aku memutuskan untuk meninggalkan Irish dengan pekerjaannya. Kembali ke lantai atas, Aku membuka pintu kamar disebelahku, kamar Raven. Kulihat anak itu masih tertidur dengan posisi aneh—satu kakinya ditekuk dan kaki lainnya diletakkan di atasnya. Lalu kedua tangannya disilangkan di belakang kepalanya—dan dia bahkan mengorok. Selimut dan bantal gulingnya terjatuh di lantai. Aku menyeringai, mengambil guling itu dari lantai dan menimpuk Raven dengan sedikit agak keras, “Bangun pemalas.” Raven terlonjak bangun dari tidurnya, Aku hanya bisa tertawa melihat ekspresinya saat itu. Ia langsung menatapku kesal karena memutus mimpinya dan segera membalas dengan menimpukku. Aku menghindarinya, berlari keluar kamar sementara Ia sibuk dengan sumpah serapahnya.
 Aku segera mandi dan berganti pakaian, baru Aku keluar dari kamar mandi, tiba-tiba saja seseorang menendang kakiku, Raven membalas dendam rupanya. Ia menyeringai penuh kepuasan melihatku mengaduh kesakitan sambil mengusap lututku. Setelah menjemur handukku di halaman belakang, Aku menuju meja makan yang sudah penuh dengan empat piring bubur yang terlihat lezat. Irish sudah menghabiskan setengah porsinya. Ayah baru keluar dari kamarnya dan segera mencuci muka di wastafel lalu bergabung bersama kami, kemudian Raven menyusul sepuluh menit kemudian. Sarapan berlangsung seperti biasanya. Irish asik bercerita tentang kegiatan sekolahnya hari ini, sementara Raven seperti biasa menggodanya, membuat ramai ruang makan dengan gelak tawa.
Selesai sarapan Irish langsung berangkat ke sekolahnya. Ayahku seperti biasa duduk di kursi goyang di teras rumah, dan Raven mungkin sibuk dengan kayu ukirannya. Aku sudah selesai membereskan semua piring-piring kotor, jadi Aku memutuskan mungkin sudah saatnya pergi ke ladang. Aku tidak membawa busur dan panahku, daging sapi kemarin masih cukup untuk tiga hari kedepan. Setelah pamit pada Ayah, Aku segera menuruni anak tangga. Seperti dugaanku Raven sedang mengukir kayunya. Bentuknya sudah mulai terlihat sekarang, seekor burung gagak. Ia segera melihatku dan meletakkan kayunya di tempatnya. Kami segera berjalan menuju bibir hutan.
Saat sedang berjalan melewati pepohonan, seseorang memanggilku. Aku menoleh ke sumber suara yang asalnya dari balik pohon pinus. Amy berdiri disana, menatapku dengan senyumannya. Melihatnya tersenyum membuatku ikut tersenyum, “Amy, apa yang kau lakukan di hutan sepagi ini?”
“Apa kau bisa ikut denganku?” Amy tidak menjawab pertanyaanku.
“Kemana?”
“Tidak jauh, Kau sangat mengenal tempat itu.” Aku berpikir sejenak kemudian mengangguk. Lalu Amy melihat Raven, “Dan maaf tapi sebaiknya kau tidak ikut Rav,”
Mendengar hal itu membuat wajah Raven sedikit muram tapi kemudian anak itu mengangguk kaku, “Kalau begitu Aku akan duluan ke kebun Arno.” Dan anak itu pun segera pergi. Meninggalkan Aku dan Amy.
Amy mengajakku ke sebuah tempat di tengah hutan, masih bagian Hutan Luar. Sebuah bangunan yang terbuat dari kayu yang sudah menghitam dan sedikit reot berdiri di hadapanku. Aku mengenali bangunan tua ini. Dulunya tempat ini adalah tempat berkumpul para pemburu. Tempat kami menukar hasil buruan kami dengan hasil pemburu lainnya. Sebut saja tempat ini sebagai pasar gelap. Namun semenjak kehadiran babi-babi itu sekitar satu tahun yang lalu, tempat ini mulai ditinggalkan. Para pemburu lebih memilih menjual buruannya di pasar desa sekarang. Tapi Aku tidak menyangka tempat ini masih berdiri, padahal katanya tempat ini sudah dirobohkan.
“Occult,” Amy membuka suara, “Tempat ini sekarang pun masih dihuni oleh para pemburu asal kau tahu. Di dalam sudah banyak para pemburu yang berkumpul, bahkan pemburu dari Kota Provinsi.  Kepala Desa yang mengundang mereka. Kita akan membahas perburuan babi raksasa itu.”
Mendengar ucapannya Aku sedikit terkejut, “Orang-orang dari Provinsi? Perburuan? Apa maksudnya ini?  Ayahku bilang para tetua sepakat untuk tidak melakukan perburuan itu.”
Amy hanya mengangkat bahunya, “Dengarkan saja penjelasan Kepala Desa nanti.” Sebenarnya Aku masih ingin bertanya satu-dua hal, tapi lebih baik Aku diam dan menunggu. Amy mendorong pintu kayu Occult, lalu kami berdua masuk. Di dalam sana sudah ada banyak orang dengan senjata-senjata berburu mereka, Aku mengenali beberapa—walau lebih banyak yang tidak. Orang-orang yang tidak kukenali itu kebanyakan mengenakan pakaian seperti seragam berwarna hijau gelap, kutebak mereka para pemburu dari Kota Provinsi. Wajah-wajah dingin khas para pemburu menyapa kami, walau ada juga yang menatap kami sambil tersenyum ramah.
Amy menyibak kerumunan dan membawaku ke salah satu meja di tengah ruangan, dimana Kepala Desa tengah asik berbincang dengan Jade dan dua orang lainnya yang tidak kukenal—mereka mengenakan seragam hijau yang sama jadi mereka pastilah orang dari Kota, dan kutebak mungkin pemimpinnya. Melihatku datang Kepala Desa berdiri, menyambutku dengan senyuman lebar, “Ah akhirnya kau datang juga Arno. Kami sudah menunggumu.” Kami berjabat tangan sebentar, kemudian Ia menyuruhku duduk di kursi yang masih kosong. Pandanganku langsung tertuju kepada dua orang asing yang duduk di hadapanku. “Ah, kau pasti tidak mengenal mereka kan, Arno?” Kepala Desa bertanya padaku yang kujawab dengan gelengan. “Mari kuperkenalkan. Yang satu itu Foster, dia adalah salah satu pemburu terbaik yang datang dari Kota Provinsi.” Kepala Desa mengenalkan seorang pria bertubuh kekar dengan kulit gelap itu kepadaku. Wajahnya terlihat garang dengan bekas luka melintang di pipinya. Ia tersenyum memandangku—yang membuatnya terlihat lebih mengerikan—dengan tatapan matanya yang tajam. Aku menyalami tangannya yang tegap dan berisi. “Lalu yang disebelahnya itu Neil, dia adalah asisten pribadi Foster. Jangan remehkan umurnya yang masih muda, Ia yang terbaik dalam hal bertahan hidup diluar sana.” Pandanganku teralih pada pemuda disebelahnya yang sekarang tersenyum ramah kepadaku. Yang satu ini terlihat lebih ramah daripada orang yang tadi. Aku menyalaminya, kuperhatikan mungkin umurnya hanya berbeda satu-dua tahun denganku. “Mereka berdua datang jauh-jauh dari Kota Provinsi untuk membantu kita memburu babi raksasa itu Arno.”
“Yah berburu memang sudah mejadi hobi kami, sih.” Timpal Foster diiringi tawa lebar.
“Perburuan babi itu akan dilaksanakan sekitar dua minggu lagi Arno,” Kepala Desa melanjutkan, “Dan Aku secara resmi mengajakmu untuk ikut dalam misi ini.”
 Mataku membulat, sungguh? Astaga, Aku tak percaya hal ini. Dalam hati Aku bersorak kegirangan. Tapi tiba-tiba Aku teringat sesuatu, Ayah. “Terima kasih Tuan Khan, Aku menerima tawaranmu itu, hanya saja…”
Kepala Desa, yang tahu apa yang kupikirkan, menggeleng. “Jangan khawatirkan tentang Ayahmu, Aku sudah mempersiapkan rencana untuk itu.” Kepala Desa melanjutkan, “Aku akan bilang pada Ayahmu kalau kau akan pergi ke Kota Provinsi untuk beberapa urusan, jadi pasti Ayahmu takkan curiga.” Aku tak yakin kalau Ayah takkan curiga tapi Aku mengangguk menyetujui ide itu. “Tapi tentu kau mau kan, ikut dalam misi ini?” Kepala Desa bertanya lagi untuk memastikan.”
Aku mengangguk mantap. “Baguslah kalau begitu, oh tapi kau harus merahasiakan ini dari orang lain.” Aku mengangguk lagi. Kepala Desa tersenyum lebar, namun sedetik kemudian mendadak wajahnya menjadi serius. Lalu ia mencondongkan tubuhnya ke arahku dan memelankan suaranya. “Amy memberitahuku tentang kejadian yang kau alami kemarin Arno, dan idemu tentang manusia di Hutan Dalam,” Aku menoleh pada Amy disebelahku yang ekspresinya serupa dengan Tuan Khan, lalu ia melanjutkan, “Foster juga mencurigai adanya aktivitas aneh di dalam sana, karenanya kalian berlima selain memburu babi itu, juga mendapat misi rahasia menyelidiki orang-orang itu.”
Aku tak percaya pada apa yang kudengar barusan, bertanya pada Foster apakah ini benar. Dan sebagai balasan pria itu mengangguk. “Setahun yang lalu aku pernah masuk ke Hutan Dalam sana untuk berburu, dan hasilnya beberapa anggotaku hilang tanpa jejak saat malam hari, semuanya anggota terbaikku. Bahkan aku juga curiga saat itu aku juga menjadi target penculikan.”
“Persis seperti yang terjadi pada Gale, Frank, dan Hugues.” Jade membuka suara. Kepala Desa sedikit menundukkan kepala, Hugues adalah putranya.
“Lalu sebulan yang lalu,” Foster melanjutkan ceritanya, “Saat aku memasuki Hutan Dalam itu dari rute timur untuk menebang pohon, tiba-tiba saja ada panah yang melesat ke arahku, mengenai bahuku.” Foster membuka bajunya dan memperlihatkan bahu kirinya yang dibalut perban. “Aku tidak tahu apa mereka hanya bermaksud melindungi hutan itu atau tidak. Tapi aku merasakan suatu aura yang jahat dari dalam hutan itu.”
Neil tiba-tiba mengambil sebuah gulungan yang berukuran cukup besar yang diletakan di dekat kakinya lalu menggelarnya diatas meja. Sebuah peta. “Peta Hutan Dalam,” gumamku.
Ada banyak tempat yang diberi tanda silang dengan spidol merah di peta itu. “Ini adalah tempat yang dicurigai sebagai markas orang-orang itu—kalau mereka benar-benar ada.” Jelas Neil menunjuk tanda silang itu.....Read more


Mau lihat kelanjutannya, Cek wattpad kami di :


Sabtu, 04 Maret 2017

Unity-Prolog chapter 1

1        
ARNO
            Ibuku berlari menembus hutan, dengan menggendongku yang baru berumur lima tahun. Hujan deras dan kegelapan malam membuat medan menjadi lebih sulit dilewati. Sesekali kilat menyambar, membuat benderang sekitar. Namun hanya sekilas, setelah itu kegelapan kembali menyelimuti. Ibuku sesekali menoleh kebelakang, napasnya terengah tetapi ia terus berlari. Sesekali kami menabrak ranting pohon dan bebatuan. Tak terhitung luka gores yang didapat Ibuku. Kami lari dari sesuatu. Aku juga tidak tahu apa atau siapa itu, tapi aku tahu mereka amat berbahaya. Dan mereka terus megejar kami.
                “Bu, aku takut” Aku memeluk Ibuku lebih erat lagi.
            “Jangan khawatir Ar, semuaya akan baik-baik saja” Ibuku berusaha tersenyum. Mengelus rambutku yang acak-acakan.
            Samar-samar Aku bisa mendengar derap langkah kuda diantara derasnya hujan. Mereka yang mengejar kami sudah semakin dekat. Ibuku berlari lebih kencang, mendekapku lebih erat. Ibuku melihat gua kecil dan memutuskan untuk pergi kesana. Mulut guanya kecil dan tertutupi pepohonan. Namun, ruangan di dalamnya cukup luas untuk kami berdua.
            “Arno, dengarkan Ibu,” Ibuku menurunkanku dari gendongannya dan berlutut di depanku, memandangku dengan tatapan lembut sambil memegang bahuku. “Kau bersembunyilah di gua ini. Apapun yang terjadi jangan keluar dari sini. Esok pagi ayahmu akan datang menjemputmu.” Ibuku menghela napas sebentar, tersenyum, “Arno, berjanjilah kau akan menjaga kedua adik-adikmu saat Ibu sudah tiada. Kau juga jadilah anak yang kuat Arno, anak yang pemberani. Ibu sudah tidak bisa mendampingimu lagi. Turuti setiap perkataan Ayah, hanya dia yang bisa menjagamu mulai sekarang.”
            “Memangnya Ibu mau pergi kemana?” Aku menahan Ibu yang hendak berdiri. “Jangan tinggalkan aku!” Suaraku bergetar, aku mulai terisak. Ibuku memelukku erat, menenangkanku.
            “Arno, berjanjilah pada Ibu,” Ibuku melepas pelukan, kemudian kembali memandangku. Aku bisa melihat mata birunya berpendar saat kilat datang, mata biru yang memberikan kehangatan kepadaku, mengusir seluruh rasa takut dalam dadaku dan menggantinya dengan keberanian. Demi melihatnya aku berhenti menangis, kemudian mengangguk mantap. “Ibu juga berjanjilah akan baik-baik saja.”
            Ibuku mengangguk lalu sekali lagi memelukku dan mengecup keningku “Ibu menyayangimu Arno.” Dan Ia berdiri lalu menuju mulut gua, segera mengambil busur yang sedari tadi di sandangnya dan mengambil satu anak panah dari punggungnya. Kemudian Ia pergi. Sungguh, seharusnya Aku tidak pernah membiarkannya pergi dari gua itu. Seharusnya Aku tak membiarkannya pergi dariku. Dan jika begitu mungkin Ibu akan selamat.Beberapa menit menunggu di dalam gua, Aku tidak tahan lagi. Aku beranjak pergi ke mulut gua, mengintip apa yang terjadi di luar sana. Hujan deras diluar sana masih belum mereda, Aku melihat Ibuku menembakkan panah-panahnya ke arah orang-orang berkuda itu yang jaraknya hanya lima meter dari tempatnya. Kuhitung mereka ada tiga orang, semuanya mengenakan jubah hitam yang menutupi kepala mereka. Mereka semua menunggangi kuda yang semuanya berbulu hitam serta membawa tombak-tombak sepanjang satu meter. Mata tombaknya terbuat dari besi perak yang terlihat amat tajam. Orang-orang itu kini berputar-putar disekeliling Ibuku, mereka terlihat berbicara dengan Ibuku. Dan Ibuku, dengan tampang garang menjawab mereka dengan anak panah dalam posisi siap menembak. Derasnya hujan dan kesiur angin meredam pembicaraan mereka. Mereka terus berputar-putar mengelilingi Ibu sampai seseorang, kurasa pemimpinnya, mengacungkan tombaknya tinggi-tinggi. Lengan jubah orang itu tersibak, memperlihatkan lengan besar yang dibalut perban. Dan dalam waktu yang amat cepat orang itu menghunuskan tombaknya ke tubuh Ibuku.
            “IBU!!!” Aku tersentak dari tidurku, berusaha mengendalikan napasku yang menderu. Pintu kamarku dibuka dengan kencang, “Ada apa?” seorang gadis, lebih muda empat tahun dariku berdiri di bingkai pintu. Tangan kanannya sedang memegang sendok sayur, napasnya sedikit terengah, ia pasti langsung berlari segera setelah mendengar teriakanku.           
             Aku menggeleng pelan, “Tidak apa-apa Irish, Aku hanya bermimpi, maaf sudah membuatmu cemas,” Napasku perlahan mulai teratur. Aku menatap kosong sprei putih ranjangku yang warnanya mulai kusam, sejenak pikiranku kembali kepada mimpi semalam. Mimpi yang sama yang telah menghantuiku selama dua belas tahun belakangan.                                                 Irish melangkah menuju jendela kamarku yang berada di sebelah ranjang, menyibakkan gordennya, membuat cahaya matahari pagi menyerbu masuk. Lalu gadis itu duduk di sampingku, menyentuh lembut lenganku dan berkata, “Kau mengalami mimpi itu lagi, kan?” Aku mengangguk perlahan. Mimpi itu sebenarnya sama sekali bukan mimpi, tetapi ingatan. Sejak malam badai dua belas tahun yang lalu itu, tiap malam aku mendapat mimpi seperti itu, membuat masa kanak-kanakku dipenuhi mimpi buruk. Tapi di tahun ketiga semenjak kematian Ibuku, mimpi-mimpi itu mulai menghilang, hanya saja sejak sebulan terakhir mimpi-mimpi itu datang lagi. Aku tidak tahu apa sebabnya, tapi Aku ingin mimpi itu segera menghilang lagi, Aku tidak mau melihat Ibuku mati didepanku setiap malam.
            Irish disebelahku menghela napas, “Kau orang yang kuat ya kak, bisa bertahan menghadapi mimpi-mimpi itu setiap malam, kalau Aku mendapat mimpi buruk semalam saja sudah bisa membuatku menggigil ketakutan esok paginya.” Ia berhenti sejenak, mendadak raut wajahnya berubah cemas. “Tapi aku takut kalau suatu saat nanti mimpi-mimpi itu sampai mengganggu kewarasanmu, lalu kau dibawa ke rumah sakit jiwa di pusat kota sana, nanti siapa yang membantuku mengurus rumah dan ayah, kau kan tahu Kak Raven tidak bisa diandalkan,” Nada suaranya berubah menjadi menggerutu saat mengatakan bagian terakhirnya.
            Demi melihat dirinya seperti itu Aku tertawa lebar. “Aku tidak akan jadi gila hanya karena mimpi, Rish. Buktinya selama ini Aku masih baik-baik saja.” Aku mengacak rambut cokelat panjang miliknya, membuatnya tersenyum manis.
  Hening sejenak... “Tapi kurasa kau malah beruntung kak, bisa melihat Ibu setiap malam,” Irish bertanya padaku sambil matanya menatap kosong ke lantai kayu kamarku. “Aku belum pernah melihat Ibu secara langsung.”
  Tersenyum getir. “ Ya, memang Aku jadi bisa melihatnya setiap malam... tapi hanya untuk melihatnya terbunuh lagi,” ada sedikit nada sarkasme dalam ucapanku, membuatku merasa sedikit bersalah karena yang bertanya tadi adalah Irish, adik kandungku sendiri.
 “Seperti apa sosok Ibu?” Irish bertanya lagi, masih menatap lantai kayu kamar. Aku bisa merasakan kesedihan dalam suaranya. Aku mengambil pigura foto Ibu yang kuletakan di meja kecil di sebelah ranjang, menunjukannya kepada Irish. “Maksudku bukan fisiknya, lebih seperti sifatnya, kebiasaannya sehari-hari!” Irish menatapku sebal sambil mengerucutkan bibirnya kalau fotonya saja sih aku sudah tahu! Kira-kira begitu maksud tatapannya itu. Aku tertawa kecil melihat tingkahnya, obrolan pagi dengan Irish adalah salah satu hal favoritku sejak dulu. Sebenarnya Irish lah yang membuatku mampu melupakan mimpi-mimpi buruk itu, menggantinya dengan harapan-harapan baru untuk hari ini.
 Aku memperbaiki posisi dudukku, menjuntaikan kakiku ke lantai. “Baiklah, akan kuceritakan.” Mata biru bulat milik Irish langsung membesar penuh suka cita, diiringi senyuman lebar di wajahnya. Ia selalu suka melihatku bercerita, karena menurutnya dirumah ini hanya aku yang paling jago bercerita. “Ibu itu sebenarnya kurang lebih sama sepertimu Rish,” Aku memulai cerita sambil memandangi foto Ibuku. “Ia orang yang baik, ramah, selalu tersenyum kepada semua orang yang ditemuinya. Selalu menolong orang yang membutuhkan bantuan dan bahkan rela mengorbankan dirinya sendiri untuk orang lain.” Aku berhenti sejenak untuk mengambil napas, “Dan tahukah kau Rish, Ibu amat pemberani, teramat malah, karena dulu Ia seorang pemburu. Orang-orang desa dulu sering memanggilnya dengan sebutan Gadis Pemanah. Dulu Ibu sering sekali masuk ke Hutan Dalam untuk memburu babi hutan yang sering merusak perladangan.” Irish bergidik ngeri mendengar kata Hutan Dalam, membuatku tersenyum tipis. “Ibu selalu menembak babi itu tepat di mata mereka, ciri khasnya. Orang bilang, jika ada yang tahu betul tentang Hutan Dalam itu, itu adalah Ibu kita yang pemberani.”
 Irish menatapku kagum, Ia belum pernah mendengar kisah itu dari siapapun. “Aku tak pernah menyangka Ibu kita seorang pemburu yang amat luar biasa, kukira Ayahlah yang seorang pemburu. Dan kau bilang Ibu sepertiku... Wow.” Gadis itu sekarang kagum dengan dirinya sendiri.
 Aku memperhatikan sendok sayur di genggaman tangan Irish, “Perutku lapar, apa menu sarapan kita Rish?” tanyaku.
 “Aku sedang membuat sup...” dan seperti teringat sesuatu gadis itu terlonjak panik, “Astaga supku!” Dan gadis kecil itu langsung berlari menuju dapur. Aku hanya terkekeh melihatnya “Setidaknya Ibu tidak seceroboh dirimu Irish!” timpalku......READ MORE.

***


Mau lihat kelanjutannya, Cek wattpad kami di :

https://www.wattpad.com/story/101412730-unity