RAVEN
Sekitar tujuh puluh tahun yang lalu, Perang
Dunia III berkecamuk. Karena alasan yang
telah dilupakan, perang ini terjadi, hanya beberapa orang di dunia ini yang
mengetahui persis alasan pecahnya perang ini. Perang Dunia III menjadi perang
paling mengerikan sepanjang sejarah umat manusia. Seluruh negara di dunia saat
itu terlibat dalam peperangan ini. Nuklir menjadi senjata favorit saat itu.
Membuat beberapa daratan di permukaan bumi rusak dan tidak dapat dihuni lagi.
Sejumlah negara bahkan memanfaatkan kekuatan
alam. Saat itu telah tercipta teknologi penggerak lempeng bumi. Dengan ini
mereka membuat gempa-gempa artifisial berkekuatan hebat. Lalu menyusul tsunami
dan gunung meletus. Karena bencana ini—terutama karena gempa buminya—banyak
pulau-pulau besar yang mengalami retakan dan akhirnya terpecah menjadi
pulau-pulau kecil. Peta dunia sudah tidak akan pernah sama lagi.
Banyak satelit-satelit di angkasa sana
dihancurkan, memutus teknologi komunikasi dan sebagainya. Belum lagi, bom-bom
elektromagnetik yang diledakan di sejumlah tempat. Listrik menjadi barang
langka saat itu—bahkan hingga sekarang. Persediaan minyak bumi yang semakin
menipis membuat banyak alat transportasi teronggok bisu. Kelaparan menjadi hal
yang lazim ditemui. Juga pencurian dan pembunuhan, tidak ada aparat hukum yang
peduli lagi.
Umat manusia hampir musnah saat itu. Beruntung,
sebelum semuanya terlambat, perang berakhir. Dengan menyisakan dataran yang
hancur, nyawa yang hilang, dan kesedihan mendalam yang tidak dapat terobati
lagi. Manusia mulai membangun peradabannya lagi, dari nol. Berusaha untuk
mengembalikan bumi seperti sediakala, mereka akan berjuang. Tapi ada satu yang
tidak akan mereka kembalikan. Sesuatu yang amat penting untuk dunia ini.
Persatuan.
Para pemimpin negara, untuk menandai
berakhirnya perang, berkumpul dan membuat perjanjian besar. Bahwa negara satu dengan negara lainnya
tidak diperbolehkan melakukan kerja sama dalam bentuk apapun, tidak
diperbolehkan melanggar batas wilayah, tidak diperbolehkan untuk mengganggu
masing-masing negara, termasuk memberikan bantuan dalam bentuk apapun untuk
mencegah perang lainnya terjadi.
***
Aku berlari secepat yang kubisa. Kusibak
lebatnya dedaunan yang ada di hadapanku dengan pisauku ini. Saking cepatnya aku
berlari, kakiku tersandung bebatuan lalu tubuhku terjatuh menuruni tanah yang
sedikit landai. Tubuhku baru berhenti terguling setelah sampai di sebuah sungai
kecil berlumpur. Aku sudah tidak peduli lagi pada pakaianku yang super kotor.
Sekarang aku harus menemukan Arno. Kuteriakkan namanya satu kali. Tidak ada
jawaban. Aku menatap aliran air sungai dibawahku yang warnanya memerah. Pikiran
buruk segera masuk ke kepalaku. Tidak
mungkin!. Aku mengusir pikiran buruk itu, segera menyusuri sungai kecil.
Berharap pikiran burukku tidak terjadi.
Namun, apa yang kutakutkan terjadi. Tubuh Arno
tergeletak bersimbah darah beberapa meter dariku. Mulutku ternganga, lututku
gemetar. “ARNO!” Aku berlari menghampirinya. Baru setengah jalan, tiba-tiba
tubuh lain terguling lagi, tergeletak persis di hadapanku. “Amy...” Aku
memandangi mayatnya yang terbujur kaku dengan darah di mana-mana. Kepalaku
menoleh ke atas pepohonan, seseorang sedang membidikan panahnya ke arahku. Lalu
panah itu melesat, menembus tubuhku.
“AKH,” Aku terbangun dengan perasaan ketakutan,
badanku sedingin dan sepucat orang mati. Napasku menderu. Seseorang membuka
pintu kamarku, “Apa semua orang harus bangun dengan teriakan di pagi hari!?”
Irish mengomel. Aku hanya membisikan kata maaf tanpa meliriknya, masih
memikirkan tentang mimpi itu. Aku sadar itu hanyalah mimpi, tetapi terasa
sangat nyata dan kuyakin itu sebuah pertanda bahwa hal buruk akan terjadi cepat
atau lambat. Sepanjang hidupku, itu adalah mimpi paling mengerikan yang pernah
kualami.
Menggelengkan kepalaku, aku menghilangkan
pikiran buruk dari otakku. Setelah sedikit tenang, aku turun dari kamarku dan
berusaha untuk menjalankan aktivitasku dengan normal. Berusaha untuk melupakan
mimpi itu.
Kulihat Arno di kamarnya masih terlelap.
Semalam Ayah menceramahinya panjang lebar. Melarang keras pergi ke Hutan Dalam.
Aku jadi merasa bersalah karena telah me-ngadukannya.
Karenanya hari ini aku memutuskan untuk kembali
pergi ke kebun lagi. Liburan sudah berakhir. Arno sama sekali tak berbicara
padaku—walaupun biasanya juga kami jarang mengobrol. Kurasa ia masih sedikit
kesal karena perbuatanku kemarin. Jadi kuputuskan untuk membuka pembicaraan
terlebih dahulu.
“Maafkan aku... soal kemarin.” Hening. Arno
tidak menjawabku, bahkan melirik pun tidak. “Maafkan aku,” aku mengulangi perkataanku,
“Kau tahu aku sangat ingin pergi ke Hutan Dalam itu. Dan fakta bahwa aku tidak
dapat pergi kesana membuatku sangat kesal, kau tahu. Aku tahu caraku salah.
Setelah memikirkannya kemarin malam, aku tahu bahwa kalau aku tidak bisa pergi
kesana, setidaknya kaulah yang harus pergi. Memburu babi sialan itu. Dan...
menyelidiki kematian ibu kita. Dan seharusnya aku membantumu bukannya
bertingkah seperti anak kecil. Maafkan aku Arno.”
Kali ini Arno menoleh padaku dan tersenyum.
Tangannya terangkat untuk mengacak rambutku—biasanya aku menepisnya tapi kali
ini kubiarkan ia melakukannya. “Permintaan maaf diterima. Aku juga minta maaf
atas sikapku. Tapi kau jangan khawatir Rav, karena apapun ucapan Ayah, aku
tetap akan pergi. Keputusanku sudah bulat.”
“Apa tidak apa-apa, maksudku, Ayah akan marah
besar.”
Arno hanya mengangkat bahu, “Jika itu yang
terjadi maka terjadilah.”
“Arno...” aku ingin menceritakan mimpiku tapi
urung, membuat Arno menatapku bingung.
“Kenapa?”
“Tidak jadi,” aku menggeleng. Di tengah jalan,
kami berdua bertemu Hugo. Ia kawanku yang sedikit... idiot kurasa. Lihat saja
tingkahnya, mengejar kupu-kupu di tengah hutan seperti anak kecil berumur lima
tahun—bahkan anak kecil berumur lima tahun tak akan melakukan hal itu—padahal
umurnya setahun lebih tua dibandingkanku.
“HAI HUGO.....” sapa kami berdua sambil melambaikan
tangan dan tersenyum. Dia hanya tertawa dan bertepuk tangan dengan gayanya yang
khas. Kami melanjutkan perjalanan namun kulihat Hugo mengikuti di belakang kami.
Kami membiarkannya, lagipula itu tak menggangguku—justru malah menjadi hiburan
melihat tingkahnya yang konyol. Sesekali kami tertawa karena tingkahnya. Ide
jail muncul diotakku. Aku sedikit berjinjit dan membisikannya pada Arno. Lalu
ia tersenyum tak kalah jailnya denganku. Sedetik kemudian kami berdua berlari
meninggalkan Hugo yang mendadak panik. Eksperinya, aku tak bisa berhenti
tertawa melihat wajahnya yang cemas seperti itu. Lalu ia berteriak-teriak tak
jelas sambil mengejar kami dengan gaya larinya yang konyol.
Kami berdua terus berlari meninggalkan Hugo.
Sesekali berhenti untuk menunggunya. Hugo adalah anak kedua Kepala Desa. Sejak
kecil tingkahnya memang seperti itu. Ia juga jarang berbicara, membuatnya
menjadi bahan olok-olok teman-teman yang lain. Tapi aku tidak peduli apakah dia
idiot atau bukan, dia tetap temanku—teman baikku malah. Ia sering menemaniku
pergi ke tempat-tempat rahasia milikku sendiri karena aku tahu ia takkan
memberitahu orang lain. Aku juga sering mengajaknya melakukan
eksperimen-eksperimen kecil. Seperti latihan membuat senjata atau ramuan.
Dengan demikian mungkin aku adalah orang yang sangat mengenal Hugo—bahkan
mngkin melebihi orangtuanya sendiri. Aku tahu apa yang membuatnya senang,
mengerti perkataannya, mengerti perasaannya, dan hal-hal lain tentangnya. Juga,
aku tahu bahwa sebenarnya Hugo tidak bodoh, jenius malah. Tapi dalam cara yang
berbeda.
Sesampainya kami di kebun, Kami beristirahat di
dangau di pinggir kebun sambil duduk-duduk dan memimum air yang sudah kami
siapkan. Botol yang terbuat dari kulit rusa dapat membawa air yang cukup untuk
satu orang. Selang lima menit, Hugo pun sampai dengan napas terengah-engah. Aku
tersenyum geli meilhatnya, dan kami menyapanya lagi, “Selamat datang Hugo.....”
ucap kami sambil menahan tawa karena melihat ekspresinya yang kelelahan. Iapun
hanya dapat tersenyum dan mengangkat tangan.
Arno memberikan minumnya kepada Hugo, dia
menerima dengan malu-malu. “Te..terimakasih” Bisik Hugo, yang sambil memberikan
kembali botol minumnya kepada Arno.
Arno sontak kaget dengan apa yang terjadi.
Seperti yang kubilang tadi, anak ini jarang sekali mengeluarkan suara dari
mulutnya. Bahkan aku yang sudah sering bersamanya saja hanya satu-dua kali
pernah mendengarnya—itupun tidak jelas. “Kau... berbicara?” tanya Arno dengan
mulut menganga. Kutebak ini pertama kalinya ia mendengar Hugo berbicara.
“Kukira kau bisu...”
Arno merayunya agar mau berbicara seperti tadi,
tetapi kali ini Hugo hanya diam dan menggeleng kuat-kuat. Akhirnya Arno
menyerah dan membiarkan anak itu bermain dengan apa yang dia sukai. Arno lalu
pergi ke dalam hutan untuk berburu sementara aku bertugas dengan air dan pupuk.
Waktupun terus berlalu, aku sudah selesai
dengan pekerjaanku sejak tadi. Arno masih belum kembali dari hutan. Dan Hugo
sudah tertidur seperti bayi di dalam dangau, dalam cuaca panas sepeti ini
memang sangat nikmat tidur didalam ruangan yang teduh. Melihat Hugo yang
tertidur, mataku terasa sangat berat dan mulai ikut terpejam. Hingga aku melihat
semak-semak disekitar kebun bergoyang. Aku mengambil pisauku, bersiap
melemparnya jika itu babi hutan. Tapi ternyata itu seekor kelinci liar berwarna
putih. Kelinci itu melompat-lompat kearahku. Aku tersenyum. Segera turun dari
dangau dan mengelus kelinci putih itu.
Bulu kelinci putih itu lembut sekali. Irish
mungkin akan senang jika aku membawanya pulang dan memeliharanya. Tapi kelinci
itu tiba-tiba saja melompat kabur setelah telinganya bergoyang-goyang sedikit. Aku
bertanya-tanya kenapa kelinci itu kabur hingga aku tahu jawabannya. Sebuah teriakan
dari dalam hutan, suara yang kukenali. “TOLONG!” teriakan itu sangat kencang, bahkan Hugo
sampai terbangun dari tidur lelapnya. Dadaku berdegup kencang. Pikiran buruk
memenuhi kepalaku.RAVEN
Sekitar tujuh puluh tahun yang lalu, Perang
Dunia III berkecamuk. Karena alasan yang
telah dilupakan, perang ini terjadi, hanya beberapa orang di dunia ini yang
mengetahui persis alasan pecahnya perang ini. Perang Dunia III menjadi perang
paling mengerikan sepanjang sejarah umat manusia. Seluruh negara di dunia saat
itu terlibat dalam peperangan ini. Nuklir menjadi senjata favorit saat itu.
Membuat beberapa daratan di permukaan bumi rusak dan tidak dapat dihuni lagi.
Sejumlah negara bahkan memanfaatkan kekuatan
alam. Saat itu telah tercipta teknologi penggerak lempeng bumi. Dengan ini
mereka membuat gempa-gempa artifisial berkekuatan hebat. Lalu menyusul tsunami
dan gunung meletus. Karena bencana ini—terutama karena gempa buminya—banyak
pulau-pulau besar yang mengalami retakan dan akhirnya terpecah menjadi
pulau-pulau kecil. Peta dunia sudah tidak akan pernah sama lagi.
Banyak satelit-satelit di angkasa sana
dihancurkan, memutus teknologi komunikasi dan sebagainya. Belum lagi, bom-bom
elektromagnetik yang diledakan di sejumlah tempat. Listrik menjadi barang
langka saat itu—bahkan hingga sekarang. Persediaan minyak bumi yang semakin
menipis membuat banyak alat transportasi teronggok bisu. Kelaparan menjadi hal
yang lazim ditemui. Juga pencurian dan pembunuhan, tidak ada aparat hukum yang
peduli lagi.
Umat manusia hampir musnah saat itu. Beruntung,
sebelum semuanya terlambat, perang berakhir. Dengan menyisakan dataran yang
hancur, nyawa yang hilang, dan kesedihan mendalam yang tidak dapat terobati
lagi. Manusia mulai membangun peradabannya lagi, dari nol. Berusaha untuk
mengembalikan bumi seperti sediakala, mereka akan berjuang. Tapi ada satu yang
tidak akan mereka kembalikan. Sesuatu yang amat penting untuk dunia ini.
Persatuan.
Para pemimpin negara, untuk menandai
berakhirnya perang, berkumpul dan membuat perjanjian besar. Bahwa negara satu dengan negara lainnya
tidak diperbolehkan melakukan kerja sama dalam bentuk apapun, tidak
diperbolehkan melanggar batas wilayah, tidak diperbolehkan untuk mengganggu
masing-masing negara, termasuk memberikan bantuan dalam bentuk apapun untuk
mencegah perang lainnya terjadi.
***
Aku berlari secepat yang kubisa. Kusibak
lebatnya dedaunan yang ada di hadapanku dengan pisauku ini. Saking cepatnya aku
berlari, kakiku tersandung bebatuan lalu tubuhku terjatuh menuruni tanah yang
sedikit landai. Tubuhku baru berhenti terguling setelah sampai di sebuah sungai
kecil berlumpur. Aku sudah tidak peduli lagi pada pakaianku yang super kotor.
Sekarang aku harus menemukan Arno. Kuteriakkan namanya satu kali. Tidak ada
jawaban. Aku menatap aliran air sungai dibawahku yang warnanya memerah. Pikiran
buruk segera masuk ke kepalaku. Tidak
mungkin!. Aku mengusir pikiran buruk itu, segera menyusuri sungai kecil.
Berharap pikiran burukku tidak terjadi.
Namun, apa yang kutakutkan terjadi. Tubuh Arno
tergeletak bersimbah darah beberapa meter dariku. Mulutku ternganga, lututku
gemetar. “ARNO!” Aku berlari menghampirinya. Baru setengah jalan, tiba-tiba
tubuh lain terguling lagi, tergeletak persis di hadapanku. “Amy...” Aku
memandangi mayatnya yang terbujur kaku dengan darah di mana-mana. Kepalaku
menoleh ke atas pepohonan, seseorang sedang membidikan panahnya ke arahku. Lalu
panah itu melesat, menembus tubuhku.
“AKH,” Aku terbangun dengan perasaan ketakutan,
badanku sedingin dan sepucat orang mati. Napasku menderu. Seseorang membuka
pintu kamarku, “Apa semua orang harus bangun dengan teriakan di pagi hari!?”
Irish mengomel. Aku hanya membisikan kata maaf tanpa meliriknya, masih
memikirkan tentang mimpi itu. Aku sadar itu hanyalah mimpi, tetapi terasa
sangat nyata dan kuyakin itu sebuah pertanda bahwa hal buruk akan terjadi cepat
atau lambat. Sepanjang hidupku, itu adalah mimpi paling mengerikan yang pernah
kualami.
Menggelengkan kepalaku, aku menghilangkan
pikiran buruk dari otakku. Setelah sedikit tenang, aku turun dari kamarku dan
berusaha untuk menjalankan aktivitasku dengan normal. Berusaha untuk melupakan
mimpi itu.
Kulihat Arno di kamarnya masih terlelap.
Semalam Ayah menceramahinya panjang lebar. Melarang keras pergi ke Hutan Dalam.
Aku jadi merasa bersalah karena telah me-ngadukannya.
Karenanya hari ini aku memutuskan untuk kembali
pergi ke kebun lagi. Liburan sudah berakhir. Arno sama sekali tak berbicara
padaku—walaupun biasanya juga kami jarang mengobrol. Kurasa ia masih sedikit
kesal karena perbuatanku kemarin. Jadi kuputuskan untuk membuka pembicaraan
terlebih dahulu.
“Maafkan aku... soal kemarin.” Hening. Arno
tidak menjawabku, bahkan melirik pun tidak. “Maafkan aku,” aku mengulangi perkataanku,
“Kau tahu aku sangat ingin pergi ke Hutan Dalam itu. Dan fakta bahwa aku tidak
dapat pergi kesana membuatku sangat kesal, kau tahu. Aku tahu caraku salah.
Setelah memikirkannya kemarin malam, aku tahu bahwa kalau aku tidak bisa pergi
kesana, setidaknya kaulah yang harus pergi. Memburu babi sialan itu. Dan...
menyelidiki kematian ibu kita. Dan seharusnya aku membantumu bukannya
bertingkah seperti anak kecil. Maafkan aku Arno.”
Kali ini Arno menoleh padaku dan tersenyum.
Tangannya terangkat untuk mengacak rambutku—biasanya aku menepisnya tapi kali
ini kubiarkan ia melakukannya. “Permintaan maaf diterima. Aku juga minta maaf
atas sikapku. Tapi kau jangan khawatir Rav, karena apapun ucapan Ayah, aku
tetap akan pergi. Keputusanku sudah bulat.”
“Apa tidak apa-apa, maksudku, Ayah akan marah
besar.”
Arno hanya mengangkat bahu, “Jika itu yang
terjadi maka terjadilah.”
“Arno...” aku ingin menceritakan mimpiku tapi
urung, membuat Arno menatapku bingung.
“Kenapa?”
“Tidak jadi,” aku menggeleng. Di tengah jalan,
kami berdua bertemu Hugo. Ia kawanku yang sedikit... idiot kurasa. Lihat saja
tingkahnya, mengejar kupu-kupu di tengah hutan seperti anak kecil berumur lima
tahun—bahkan anak kecil berumur lima tahun tak akan melakukan hal itu—padahal
umurnya setahun lebih tua dibandingkanku.
“HAI HUGO.....” sapa kami berdua sambil melambaikan
tangan dan tersenyum. Dia hanya tertawa dan bertepuk tangan dengan gayanya yang
khas. Kami melanjutkan perjalanan namun kulihat Hugo mengikuti di belakang kami.
Kami membiarkannya, lagipula itu tak menggangguku—justru malah menjadi hiburan
melihat tingkahnya yang konyol. Sesekali kami tertawa karena tingkahnya. Ide
jail muncul diotakku. Aku sedikit berjinjit dan membisikannya pada Arno. Lalu
ia tersenyum tak kalah jailnya denganku. Sedetik kemudian kami berdua berlari
meninggalkan Hugo yang mendadak panik. Eksperinya, aku tak bisa berhenti
tertawa melihat wajahnya yang cemas seperti itu. Lalu ia berteriak-teriak tak
jelas sambil mengejar kami dengan gaya larinya yang konyol.
Kami berdua terus berlari meninggalkan Hugo.
Sesekali berhenti untuk menunggunya. Hugo adalah anak kedua Kepala Desa. Sejak
kecil tingkahnya memang seperti itu. Ia juga jarang berbicara, membuatnya
menjadi bahan olok-olok teman-teman yang lain. Tapi aku tidak peduli apakah dia
idiot atau bukan, dia tetap temanku—teman baikku malah. Ia sering menemaniku
pergi ke tempat-tempat rahasia milikku sendiri karena aku tahu ia takkan
memberitahu orang lain. Aku juga sering mengajaknya melakukan
eksperimen-eksperimen kecil. Seperti latihan membuat senjata atau ramuan.
Dengan demikian mungkin aku adalah orang yang sangat mengenal Hugo—bahkan
mngkin melebihi orangtuanya sendiri. Aku tahu apa yang membuatnya senang,
mengerti perkataannya, mengerti perasaannya, dan hal-hal lain tentangnya. Juga,
aku tahu bahwa sebenarnya Hugo tidak bodoh, jenius malah. Tapi dalam cara yang
berbeda.
Sesampainya kami di kebun, Kami beristirahat di
dangau di pinggir kebun sambil duduk-duduk dan memimum air yang sudah kami
siapkan. Botol yang terbuat dari kulit rusa dapat membawa air yang cukup untuk
satu orang. Selang lima menit, Hugo pun sampai dengan napas terengah-engah. Aku
tersenyum geli meilhatnya, dan kami menyapanya lagi, “Selamat datang Hugo.....”
ucap kami sambil menahan tawa karena melihat ekspresinya yang kelelahan. Iapun
hanya dapat tersenyum dan mengangkat tangan.
Arno memberikan minumnya kepada Hugo, dia
menerima dengan malu-malu. “Te..terimakasih” Bisik Hugo, yang sambil memberikan
kembali botol minumnya kepada Arno.
Arno sontak kaget dengan apa yang terjadi.
Seperti yang kubilang tadi, anak ini jarang sekali mengeluarkan suara dari
mulutnya. Bahkan aku yang sudah sering bersamanya saja hanya satu-dua kali
pernah mendengarnya—itupun tidak jelas. “Kau... berbicara?” tanya Arno dengan
mulut menganga. Kutebak ini pertama kalinya ia mendengar Hugo berbicara.
“Kukira kau bisu...”
Arno merayunya agar mau berbicara seperti tadi,
tetapi kali ini Hugo hanya diam dan menggeleng kuat-kuat. Akhirnya Arno
menyerah dan membiarkan anak itu bermain dengan apa yang dia sukai. Arno lalu
pergi ke dalam hutan untuk berburu sementara aku bertugas dengan air dan pupuk.
Waktupun terus berlalu, aku sudah selesai
dengan pekerjaanku sejak tadi. Arno masih belum kembali dari hutan. Dan Hugo
sudah tertidur seperti bayi di dalam dangau, dalam cuaca panas sepeti ini
memang sangat nikmat tidur didalam ruangan yang teduh. Melihat Hugo yang
tertidur, mataku terasa sangat berat dan mulai ikut terpejam. Hingga aku melihat
semak-semak disekitar kebun bergoyang. Aku mengambil pisauku, bersiap
melemparnya jika itu babi hutan. Tapi ternyata itu seekor kelinci liar berwarna
putih. Kelinci itu melompat-lompat kearahku. Aku tersenyum. Segera turun dari
dangau dan mengelus kelinci putih itu.
Bulu kelinci putih itu lembut sekali. Irish
mungkin akan senang jika aku membawanya pulang dan memeliharanya. Tapi kelinci
itu tiba-tiba saja melompat kabur setelah telinganya bergoyang-goyang sedikit. Aku
bertanya-tanya kenapa kelinci itu kabur hingga aku tahu jawabannya. Sebuah teriakan
dari dalam hutan, suara yang kukenali. “TOLONG!” teriakan itu sangat kencang, bahkan Hugo
sampai terbangun dari tidur lelapnya. Dadaku berdegup kencang. Pikiran buruk
memenuhi kepalaku......Read more
Mau lihat lebih lengkap, Cek wattpad kami di :